Setelah melihat Nyonya, aku sudah memutuskan. Nyonya adalah perempuan yang hadir dalam mimpiku. Yang membuat kepala berdenyut-denyut karena rindu. Mungkin ini membuat Nyonya bingung. Tetapi aku tahu suami Nyonya. Aku akan segera menemuinya. Meminta izin padanya. Agar aku bisa menikahi Nyonya. Membawa Nyonya dalam hidupku.Â
Lelaki itu berdiri. Meninggalkan Delvi yang dilanda badai kegelisahan. Delvi terguncang hebat. Ia berteriak sebisa mungkin. Sialnya, tubuhnya terkunci.Â
Ia tak punya kekuatan sedikitpun untuk berbuat sesuatu. Ketika matanya terbuka, suami yang tidur di sampingnya masih pulas tidurnya. Sejak malam itu, beberapa kali ia mimpi persis seperti itu. Kadang seminggu tiga kali. Kadang dua kali. Pernah sekali.Â
Oleh karena suatu hal, Delvi menyimpan mimpinya itu sendiri. Ia tak ingin suaminya tahu mimpinya yang mengusiknya itu. Setelah tak kuat lagi memendam sendiri, ia pergi ke psikolog. Menguraikan detail mimpinya. Dari sana ia mendapat beragam petunjuk. Namun sialnya lagi, segala cara telah ia lakukan. Tetapi mimpi itu selalu datang. Selalu membuat ia terbangun dalam keadaan terengah-engah. Dan suami yang tidur di sampingnya, tidur pulas seperti yang sudah-sudah.
Mimpi itu mendera Delvi selama berminggu-minggu. Ia akhirnya memilih berdamai. Menganggapnya sebagai sebuah tamu menyebalkan. Yang harus ia hadapi dan tak bisa mengelak darinya. Manjur juga, pikirannya lebih plong. Tetapi masih terengah-engah ketika mimpi itu pergi dari tiidrnya.Â
Suatu waktu, sekretarisnya bilang jika ada tamu yang hendak bertemu dengannya. Awalnya ia menolak karena memang tidak ada janji. Tetapi karena tamu itu katanya mau menawarkan produk yang selama ini dicari kantornya, ia tak bisa menolak.
Delvi menunggu tamu di ruangannya. Matanya memandangi foto keluarga yang berada di mejanya. Ketika pintu dibuka, muncullah adegan itu. Lelaki itu. Yang tiap malam menyapa dalam mimpinya.Â
Ia berjalan menuju kursi yang ada di depannya. Lalu duduk walaupun belum dipersilahkan. Setelah bisa menguasai keadaan, Delvi mencoba setenang mungkin. Ia yakin jika dirinya tidak sedang bermimpi. Wajah itu, barangkali hanya mirip. Demikian pikirannya yang kalut bekerja.
Lelaki itu tersenyum. Ia membetulkan. Kacamatanya.
"Nyonya, saya sudah cerita pada suami Nyonya tentang rencana saya. Menyunting Nyonya sebagai istriku" seperti petir, suara itu menyambar telinga dan pikiran Delvi.
Setelah jeda yang panjang, Delvi bersuara.