Saya merenung. Memang benar-benar tidak waras perempuan itu. Anaknya mati sepuluh tahun lalu. Tetapi seperti baru saja tadi pagi meninggalkannya.
"Ah, bagaimanapun saya berkewajiban untuk menyampaikan amanat ini.." ujar saya lirih. Lalu meninggalkan rumah itu.
Setelah beberapa kali menggali informasi, saya berhasil menemukan titik terang. Saya diantar salah satu warga ke makam almarhum.Â
"Bapak jalan saja ke arah sana. Nah nanti akan ada beringin. Belok kanan kira-kira 100 meter dan tak jauh dari situ ada beberapa makam. Makam keempat dari pojok. Itu dia. Saya tunggu di sini saja. Kualat kalau sampai saya ke sana." ujar lelaki itu.
Saya melangkah mengikuti petunjuk itu. Sebenarnya saya sudah membujuk supaya ia mengantar saya. Bahkan saya iming-imingi dengan bayaran lebih besar. Tapi tetap tak bergeming.Â
"Tak ada penduduk yang menziarahinya. Katanya kualat. Begitu yang saya dengar. Dan saya tak ada alasan untuk melanggarnya.."
Saya melangkah dengan misi yang telah saya sebut di atas. Menyampaikan amanat. Sudah itu saja. Bukan hal-hal lain yang tiba-tiba berkecamuk di kepala.Â
Entah kenapa, timbul dalam kepala saya. Jika saya punya kewajiban untuk menyelidiki tragedi ini. Tetapi susah payah saya usir pemikiran macam demikian. Namun semakin bertubi-tubi mengajar ruang kepala saya.
Hawa sore yang mulai dingin. Angin berhembus lumayan kencang. Suara gesekan daun. Suara burung hantu yang bersahut-sahutan. Kini membuat bulu kuduk saya berdiri.Â
Saya tiba di tempat itu. Tempat yang ditunjukkan lelaki yang mengantar saya. Tetapi saya tidak menemukan makam. Satu pun. Â
Setelah memastikan ke sana kemari, saya mulai menyerah. Saya menganggap lelaki tadi itu menipu saya. Suasana menjadi gelap. Peluh saya membanjir.Â