Saya mendengarkannya.
"Aku harus bagaiamana San?"
Saya menarik napas panjang.
"Urusan yang sangat  penting kali ini yaitu hutangmu Nus. Itu harus kamu selesaikan dulu. Dengan begitu kamu akan menjadi manusia merdeka. Insyaallah akan lebih mudah, seandainya kamu mundur dari pabrik. Lalu menikah dengan Nenti."
"Butuh tiga tahun untuk melunasi tanggunganku San. Sementara Nenti tidak bisa menunggu selama itu."
Yunus berdiri dan berjalan ke arah jendela.
"Nenti tahu hutang-hutangku. Dia malah tak menyoal itu. Tapi aku laki-laki San. Aku tak mau istriku yang melunasi hutang-hutangku."
Ia kembali duduk dan meminum teh yang sudah dingin itu.
"Saya tahu, tak mudah memang. Tapi memang akhirnya kamu harus membuat pilihan. Jika saya menjadi kamu, saya akan keluar dari pabrik. Melanjutkan cinta yang sudah diberi Allah. Bukankah selama ini masalah cinta itu yang kamu hindari. Teman-teman kita SMP hanya kamu saja yang masih lajang. Percayalah, selalu ada jalan."
Akhirnya Yunus berhenti dari Pabrik. Ia bekerja serabutan untuk menambal hutang-hutangnya. Setelah lebaran ia melamar Nenti. Saya mengenal baik Nenti. Ia janda dengan satu anak. Suaminya tewas dihantam kereta api, tiga tahun lalu.
Pernikahannya digelar sederhana. Hanyalah keluarga yang hadir. Mungkin sayalah satu-satunya non keluarga yang turut di situ.