Ia memegang tangan saya. Membaca garis tangan. Sesekali dahinya berkerut. Sesekali ia bernapas panjang.
Satu jam sebelumnya ia menemui saya. Kata leluhurnya, ada seseorang yang harus diramal. Supaya punya persiapan atas hal-hal yang akan terjadi di masa depan.
"Saya keturunan Gajah Mada." demikian ia mengenalkan diri kali pertama.
Saya tersenyum.
"Maaf, sepertinya kita belum bertemu sebelumnya? Atau saya lupa jika pernah ketemu. Atau jangan-jangan Anda salah orang." ujar saya dengan banyak pertanyaan di kepala.
Saya sering bertemu kawan lama. Yang mulanya tidak ingat. Tiba-tiba saja memeluk. Kadang menjabat tangan. Kadang menepuk bahu. Lalu dari omong-omong itulah akhirnya saya ingat. Harus saya akui, kemampuan ingatan saya terutama pada kenalan di masa lalu sangat buruk.
Saya sruput kopi yang masih hangat itu. Sementara ia duduk di depan saya. Sambil bicara banyak hal. Tentu saya tidak mengerti ujung pangkal pembicaraannya.
"Saya puasa." katanya ketika akan saya pesankan minuman.
"Saya ke sini dituntun leluhur."
Saya mengangguk. Ada banyak cerita tentang penipuan yang saya dengar dari kawan-kawan. Motifnya macam-macam.
"Saya bukan penipu. Saya hanya menjalani apa yang leluhur saya katakan" tukasnya.
Saya terkejut. Seakan ia bisa membaca pikiran saya.
Ia kemudian menjelaskan tujuan utama. Setelah prolog yabg membuat kepala pusing.
"Untuk itu saya perlu membaca garis tangan sampeyan. Untuk dapat menasurkan sekaligus menyarankan sesuatu."
Sekalipun saya tak pernah diramal. Karena memang menurut saya hal demikian adalah hal bodoh. Kalau ramalan cuaca, okelah.
Tapi saya akhirnya menyerahkan juga tangan saya. Bukan supaya diramal, tetapi supaya lebih cepat selesai urusan dengan leluhur Gajah Mada ini.
Ia melepas tangan saya. Matanya memejam. Cukup lama. Saya kembali mengangkat cangkir. Menyesap pahitnya kopi.
Matanya terbuka. Ia memandang saya dengan tajam. Saya merasa jengah dipandangi demikian.
"Hasilnya bagaimana Pak?" akhirnya saya berkompromi. Berharap segera terbebas dari situasi menyebalkan ini.
Ia menarik napas panjang.
"Ada mendung kelam dalam jalan hidup sampean. Sampean harus bijak. Harus berhati-hati. Sekali salah langkah, selesai semua."
Saya terkejut. Ini ancaman atau ramalan. Tetapi saya berusaha menahan kedongkolan. Saya paksakan senyum.
"Lebih jelasnya?" saya pancing untuk penjelasan lebih lanjut. Sebenarnya saya tidak peduli. Tetapi ada suara dalam diri untuk meminta konfirmasi ucapannya.
Ia tersenyum. Lalu berdiri dan meninggalkan pembicaraan seperti orang tak punya sopan-santun. Datang begitu saja, lalu pergi tanpa permisi.
Markomo menepuk pundak saya. Ia penjaga di warung kopi ini.
"Pernah lihat orang barusan?"
Markomo tampak bingung. Ia lalu duduk di tempat lelaki yang mengatakan keturunan Gajah Mada itu.
"Saya pikir kamu main teater. Bicara sendiri dari tadi."
Saya berusaha mengikuti arah pembicaraannya.
"Di warung ini hanya ada aku dan kamu. Tak ada orang lain. Dari tadi kamu bicara sendiri. Ya kupikir main teaterbatau sejenisnya."
Mata saya terbelalak. Lalu secepatnya berlari ke arah lelaki peramal itu pergi.
"Ada mendung kelam dalam jalan hidup sampean. Sampean harus bijak. Harus berhati-hati. Sekali salah langkah, selesai semua." suara itu menggema dalam kepala.
Prambon - Sidoarjo,
1 Maret 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI