Saya terkejut. Seakan ia bisa membaca pikiran saya.
Ia kemudian menjelaskan tujuan utama. Setelah prolog yabg membuat kepala pusing.
"Untuk itu saya perlu membaca garis tangan sampeyan. Untuk dapat menasurkan sekaligus menyarankan sesuatu."
Sekalipun saya tak pernah diramal. Karena memang menurut saya hal demikian adalah hal bodoh. Kalau ramalan cuaca, okelah.
Tapi saya akhirnya menyerahkan juga tangan saya. Bukan supaya diramal, tetapi supaya lebih cepat selesai urusan dengan leluhur Gajah Mada ini.
Ia melepas tangan saya. Matanya memejam. Cukup lama. Saya kembali mengangkat cangkir. Menyesap pahitnya kopi.
Matanya terbuka. Ia memandang saya dengan tajam. Saya merasa jengah dipandangi demikian.
"Hasilnya bagaimana Pak?" akhirnya saya berkompromi. Berharap segera terbebas dari situasi menyebalkan ini.
Ia menarik napas panjang.
"Ada mendung kelam dalam jalan hidup sampean. Sampean harus bijak. Harus berhati-hati. Sekali salah langkah, selesai semua."
Saya terkejut. Ini ancaman atau ramalan. Tetapi saya berusaha menahan kedongkolan. Saya paksakan senyum.