"Menyambut hari pahlawan, mari kita membayangkan situasi berikut ini dengan hati dan kepala dingin" ujarnya berapi-api. --
Ketika bel masuk, kamu dan teman-temanmu segera bergegas menuju kelas. Seperti biasanya, bersiap menerima pelajaran dari gurumu.
Sebelum guru masuk kelas tentu saja suasana riuh. Riuh seperti biasanya. Di bangku depan, salah satu temanmu bernyanyi dengan suara yang sangat menganggu. Sangat buruk. Tapi kamu dan teman-temanmu malah gembira.
"Pinjam pensilnya dong.. " ujar temanmu yang duduk tepat di belakangmu. Dengan senang hati, kamu mengambil pensilmu dan memberikan padanya.
"Jangan diembat lho ya.." katamu sembari tersenyum.
"Pasti saya embat" tukas temanmu dengan wajah imutnya.
Tak berselang lama, gurumu masuk kelas. Â
"Mohon maaf anak-anak manis. Bu Ida hari ini izin. Jadi saya yang menggantikannya.." ujar Bu Lastri. Salah satu penjaga perpustakaan sekolahmu.
Bu Lastri menuliskan tugas di papan tulis. Kamu mencatatnya sebagaimana biasanya.
Arin, temanmu yang pinjam pensil tadi, merupakan teman baikmu. Ia baik hati. Tidak sombong. Rajin mengaji. Rajin pula menabung. Pintarnya bukan main. Meski tidak sepertimu, yang punya kedua orang tua lengkap.
~
Pernahkah kamu mimpi buruk? Ketika bangun, sehabis mimpi buruk,tentu kamu akan mengucapkan hamdalah.
"Mimpi..."
~
Tetapi hari itu bukan mimpi buruk. Ketika Arini mengembalikan pensilmu dan Bu Lastri telah menyelesaikan tulisan di papan.
Ruang kelasmu bergetar hebat. Suara berderak keras memekakan telinga. Atap sekolahmu ambruk menimpamu dan teman beserta gurumu.
Suara tangis menyayat. Rintihan kesakitan mengiris hati. Darah menggenang. Kamu, entah beruntung atau kata apa yang tepat, masih menyala matamu. Merekam tragedi itu. Gelap.
Ambruknya atap sekolahmu menyebar ke pelosok negeri. Semua datang silih berganti. Memberikan bantuan. Memberikan komentar. Memberikan motivasi.
Tetapi, Arini dan Bu Lastri, pergi untuk selamanya. Selamanya. Keduanya meninggal karena pendaharan hebat di kepala.
Tidak ada yang bisa mengganti keduanya. Tidak ada. Keduanya pergi menghadap Allah SWT.
--
"Bagaimana?" ucapnya
"Itulah salah satu potret pendidikan di negeri ini. Menghubungkan atap kelasmu ambruk dengan takdir memang sah-sah saja. Namun, tentu sah juga jika kita mengulik bagiamana kondisi atap yang ambruk itu." tambahnya.
"Apakah bangunannya sudah sedemikian tua dilahap usia? Ataukah konstruksi yang kurang cermat dari pihak yang mengerjakannya? Ataukah...?" tanya saya kemudian.
"Selamat hari pahlawan...." pungkasnya meninggalkan saya di beranda.
----
Atas nama kemanusiaan, saya mengucapkan bela sungkawa atas tragedi ambruknya atap yang merenggut dua jiwa. Pada sebuah sekolah dasar di SDN Gentong, Kota Pasuruan.
Ananda Irza Amaria (8 tahun) dan Bu Selvina Arsy Putri Wijaya (19 tahun): semoga mendapat tempat terbaik di sisiNya. Alfatihah.
Mengeringkan duka
9 November 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H