Dan banyak nasihat semacam itu. Tapi saya hanya tersenyum. Pahit.
Sejak sendiri itu, kunang-kunang datang. Berputar-putar. Bahkan sepanjang malam dia menemani saya.
Suatu kali, saya bertanya kepadanya. Lalu cerita banyak hal tentang rahasia-rahasia yang selama ini saya simpan sendiri. Kunang-kunang itu seperti takzim mendengarkan semua ocehan saya. Tiap malam.
Sejak itu, saya merasa menjadi orang yang bahagia. Plong. Saya bekerja seperti biasa. Tapi semangat saya berlipat rasanya. Hampir enam bulan istri saya tak ada kabar. Mertua saya juga sudah tidak pernah lagi datang kemari membicarakan anaknya.
Saya sudah pasrah. Begitu saya bilang sama mertua. Jika jodoh, ya tidak akan kemana. Begitu. Ibu mertua menangisi saya. Ia berkali-kali mengutuk anaknya dengan sumpah serapah.
Suatu hari di bulan Juli, Kasno tergesa-gesa menghampiri saya di sekolah. Ia nampak sekali gugup. Saya suruh minum segelas air. Ia tenggak habis. Lalu ia cerita.
Marni pulang dengan lelaki itu. Ia menggugat saya cerai. Alasan ekonomi. Wajahnya kini parlente. Bajunya Bagus bukan main. Saya lihat mobil lelaki di bawah pohon mangga depan rumah. Saya akui, itu mobil mahal. Bahkan dalam mimpi pun agaknya saya tak kuat beli.
"Kenapa harus menunggu 10 bulan baru pulang Mar? Jika itu maumu, kamu tidak usah selama itu menunggu." ujarku sembari menatap matanya yang menyorotkan sinar kebencian.
"Saya senang kamu bahagia. Saya senang kamu sekarang sudah punya anak yang cantik" kataku sembari menatap lelaki yang masih di mobil itu.
Lalu semua terjadi dengan semestinya. Kami bercerai. Tapi saya bahagia. Marni, perempuan yang saya sayangi, sampai kapanpun, telah menemu kebahagiaan. Saya tahu dia menangis ketika di pengadilan. Saya besarkan hatinya. Saya sudah memaafkan. Jauh sebelum itu.
Kunang-kunang itu, sahabatku itu, berbicara banyak hal kepada saya. Termasuk kehamilan Marni.