Mohon tunggu...
Penyair Amatir
Penyair Amatir Mohon Tunggu... Buruh - Profil

Pengasuh sekaligus budak di Instagram @penyair_amatir, mengisi waktu luang dengan mengajar di sekolah menengah dan bermain bola virtual, serta menyukai fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki dengan Setangkai Janji

10 Juni 2019   12:25 Diperbarui: 10 Juni 2019   12:31 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.pixabay.com

Kunang-kunang itu tiap malam selalu berputar-putar di kamar. Saya tidak begitu peduli awalnya. Tapi lama kelamaan saya akhirnya terganggu.

Saban malam. Ketika lampu kamar saya matikan. Ia masuk begitu saja. Tidak bersuara. Pernah suatu kali sengaja saya nyalakan lampu terus menerus. Sepanjang malam. Dan kunang-kunang itu tidak ke kamar.

Ketika itu saya merasa sangat berdosa. Barangkali, kunang-kunang itu hendak bicara suatu hal. Maka semenjak malam itu, saya tak pernah nyalakan lampu ketika hendak tidur. Dan kembali, kunang-kunang itu berputar-putar di atas tubuh saya yang rebahan di kasur.

"Kunang-kunang itu kukunya orang mati" ujar tetangga. Sektika saya googling. Betul. Ada mitos begitu. Tapi secara ilmiah, itu jelas hewan. Dan saya yakin, dia hanyalah hewan. Makhluk sebagaimana saya.

Ketika kunang-kunang itu rajin ke kamar saya, saya tengah mengalami masa-masa kelam dalam hidup. Istriku kabur entah kemana. Katanya lari dengan selingkuhannya. Dan saya memang tahu, istri saya telah lama selingkuh. Dan saya tidak peduli. Asal tidak di depan mata saya saja. Saya tidak pernah menggubris desas-desus itu.

Kami menikah hampir sepuluh tahun. Istri saya tidak ingin punya anak dulu. Saya nurut. Berkali-kali ketika saya minta untuk segera punya anak, berkali pula istri saya ngotot. Ingin berkarir dulu. Saya yang dulu bersepakat sebelum pernikahan, tak bisa berbuat banyak.

"Punya anak itu nanti Mas. Setelah kita berada di Puncak karir. Sata bekerja juga demi keluarga kita. Saya tahu gaji guru swasta. Saya bukannya mengeluh. Saya syukuri. Kamu adalah suami yang sangat saya. Bukankah dulu kita sudah komitmen?" kurang lebih begitu. Dan saya tak lagi berusaha mendebat istri yang saya sayangi itu.

Namun, setelah lebaran berlalu. Istri saya yang pamit ke ikut temannya ke rumah saudaranya, tak kembali hingga berhari-hari. Bahkan sudah hampir dua bulan. Sementara tetangga tak henti-hentinya prihatin dengan nasib saya.

"Kamu itu laki-laki. Masak diinjak gitu diam saja Gus. Ya ngelawan gitu. Kamu cari istrimu. Lalu kamu injak-injak selingkuhannya itu."

"Ceraikan. Cari lagi Gus."

Dan banyak nasihat semacam itu. Tapi saya hanya tersenyum. Pahit.

Sejak sendiri itu, kunang-kunang datang. Berputar-putar. Bahkan sepanjang malam dia menemani saya.

Suatu kali, saya bertanya kepadanya. Lalu cerita banyak hal tentang rahasia-rahasia yang selama ini saya simpan sendiri. Kunang-kunang itu seperti takzim mendengarkan semua ocehan saya. Tiap malam.

Sejak itu, saya merasa menjadi orang yang bahagia. Plong. Saya bekerja seperti biasa. Tapi semangat saya berlipat rasanya. Hampir enam bulan istri saya tak ada kabar. Mertua saya juga sudah tidak pernah lagi datang kemari membicarakan anaknya.

Saya sudah pasrah. Begitu saya bilang sama mertua. Jika jodoh, ya tidak akan kemana. Begitu. Ibu mertua menangisi saya. Ia berkali-kali mengutuk anaknya dengan sumpah serapah.

Suatu hari di bulan Juli, Kasno tergesa-gesa menghampiri saya di sekolah. Ia nampak sekali gugup. Saya suruh minum segelas air. Ia tenggak habis. Lalu ia cerita.

Marni pulang dengan lelaki itu. Ia menggugat saya cerai. Alasan ekonomi. Wajahnya kini parlente. Bajunya Bagus bukan main. Saya lihat mobil lelaki di bawah pohon mangga depan rumah. Saya akui, itu mobil mahal. Bahkan dalam mimpi pun agaknya saya tak kuat beli.

"Kenapa harus menunggu 10 bulan baru pulang Mar? Jika itu maumu, kamu tidak usah selama itu menunggu." ujarku sembari menatap matanya yang menyorotkan sinar kebencian.

"Saya senang kamu bahagia. Saya senang kamu sekarang sudah punya anak yang cantik" kataku sembari menatap lelaki yang masih di mobil itu.

Lalu semua terjadi dengan semestinya. Kami bercerai. Tapi saya bahagia. Marni, perempuan yang saya sayangi, sampai kapanpun, telah menemu kebahagiaan. Saya tahu dia menangis ketika di pengadilan. Saya besarkan hatinya. Saya sudah memaafkan. Jauh sebelum itu.

Kunang-kunang itu, sahabatku itu, berbicara banyak hal kepada saya. Termasuk kehamilan Marni.

Kunang-kunang juga tahu, selama kami menikah tak sekalipun saya menyentuhnya. Bukan karena tak mau, tapi komitmen. Itulah yang menjadi janji yang saya pegang sampai detik ini.

"Sekarang saya duda. Saya ingin menikahimu saja." ujarku pada kunang-kunang malam itu.

Semenjak saya meminangnya itu, tak sekalipun ia bertamu ke kamarku. Tak sekalipun.

Prambon, 10/6/2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun