Orang-orang langsung kalap. Dalam satu hari, ludeslah kambing. Ludeslah sapi. Ludeslah ayam. Ludeslah bebek. Mereka bakar bangkai bangkai itu. Asap mengepul hitam.
Makar sendiri ketika itu, tidak berada di desa. Ia sedang pergi ke kota. Ada urusan penting di sana. Sekembalinya, ia melihat peliharaannya sudah ludes. Bukan main geramnya ia.
Selama hampir lima tahun itu, tak ada yang menggubris kelakuan Makar. Ritualnya menyembah pohon malam hari. Menyembah sungai sore hari.
Seiring pergantian Lurah di kampung itu, Â keberadaan Makar kembali dipersoalkan. Â Hingga tiba pada satu keputusan itu.
Pak Lurah ditemani beberapa tokoh masyarakat, tenang saja menyambut Makar.
"Keputusan sudah dibuat. Segera angkat kaki dari sini. Kamu sudah tidak diterima." ujar Sugribi. Lelaki tambun yang menjadi kepercayaan Pak Lurah.
Makar menatapnya nyalang.
"Tutup mulutmu!" Makar semakin beringas.
"Ketika pembantain hewan ternak lima tahun lalu, siapa yang pernah bertanggung jawab? Kini malah mengurusi urusan pribadi saya. Yang jelas-jelas kalian tidak tahu apapun mengenai yang saya perbuat" ujarnya.
Pak Lurah merupakan cucu Mbah Karyo. Setahun setelah pembantaian hewan ternak, Mbah Karyo ditemukan tewas gantung diri. Konon ada yang menyebutnya, ia telah dibunuh terlebih dulu. Beberapa menyebut, Makarlah pelakunya. Tetapi itu hanyalah semacam desas-desus yang tidak pernah dibuktikan. Lenyap begitu saja.
"Bakar saja dia. Sesat. Kapir." demikian awal mulanya. Teriakan dari arah warga yang menonton. Disusul lemparan batu. Selanjutnya persis amuk massa lima tahun silam. Ketika hewan ternak menjadi sasarannya. Bedanya, kini lelaki berkeris itu menjadi targetnya.