Sekitar pukul 12.15 aku terbangun. Dua orang menangis di depan pintu.
"Ibumu kejang nak.." begitulah yang kutangkap dari kedua tetanggaku.
Aku langsung berlari. Ibu sudah tergolek dikerubungi banyak orang. Beberapa diantaranya menangis. Dengan setenang mungkin aku mendekat. Mengguncang tubuhnya. lalu dengan bantuan tetangga aku membopong ke rumah. Karena tak ada tanda-tanda lebih baik, kami membawanya ke RS. Haji. Sepanjang perjalanan, pikiranku berlari=lari.
Dan,kabar yang paling kutakutkan terjadi.bapak menghampiriku. Beliau menangis. Sudah cukup bahasa itu. Ya, menangis. Aku langsung bergegas menuju Ibu. Dokter dan perawat berjajar. Mereka berbicara. Tapi tak kupedulikan. Wajah ibu membeku. Matanya terpejam. Badanku bergetar hebat. Ku mendekat. Mencium pipinya berulang-ulng dengan air mata berhamburan.
***
Aku langsung masuk ke lubang itu. Ibuku nampak tenang. pakaian abadinya putih bersih. Ku sentuh tubuhnya dengan perasaan haru. Perasaan damai menjalar dalam tubuhku. Selesai diadzani, aku keluar dari lubang terakhir tersebut. Melihat dengan remuk, tanah-tanah menutup dua alam yang berbeda. Sejak itu, saya merasakan sepi. Sejak itu saya merasa sendiri. Air mata tak hentinya.
Aku pulang dari pemakaman Ibu dengan memeluk lengan Bapak. Kami berjalan gontai. Tentu, sudah akan banyak hal lain lagi yang masih disisakan Allah untuk kami cermati.
22 Oktober 1990
***
Catatan itu berakhir. Air mata saya yang jarang sekali tumpah, malam itu membanjir. Â Saya tutup buku harian yang puluhan tahun selalu setia menemani hidup mendiang suamiku.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H