Ketika kenyataan dituliskan, maka cerita akan abadi.
***
Seperti sebelum ini, saya masih mengharap. Ketika sampai di rumah, berharap ada yang membukakan pintu. Menyuruhku segera menyimpan sepatu di rak. Menyuruhku makan.
***
Hari itu badanku bergetar hebat. Sepanjang perjalanan pikiranku melayang layang. Sesekali aku menoleh ke belakang. jantungku serasa berhenti. Pakdhe-pakdheku wajahnya lesu. Ada ketakbergairahan dari sorot mata mereka. Mungkin, mataku juga demikian. Di luar, hujan tak henti-hentinya mengiringi perjalan kami. Kepalaku berdenyut-denyut. Suara sirine ambulan menambah perjalanan tersebut menjadi perjalanan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
***
Pagi itu aku dibangunkan Ibu. Seperti biasanya, disuruhnya aku mandi. Makanan sudah siap di meja. Tapi perut menolaknya. Ibu pun menyuruhku mengantar sepupuku jalan-jalan keliling kota. Maklumlah, tujuan sepupuku memang ingin tahu jembatan suramadu. Maka, tak diperintah dua kali, kami berdua langsung berangkat.
Sekitar satu jam kami berputar-putar. Di rumah, kebetulan suasana lagi sepi. Bapkku tidur. Sementara budhe, masih menata baju-baju yang telah dicuci.
"Ibumu rewang nak"
Aku tersenyum.
***
Sekitar pukul 12.15 aku terbangun. Dua orang menangis di depan pintu.
"Ibumu kejang nak.." begitulah yang kutangkap dari kedua tetanggaku.
Aku langsung berlari. Ibu sudah tergolek dikerubungi banyak orang. Beberapa diantaranya menangis. Dengan setenang mungkin aku mendekat. Mengguncang tubuhnya. lalu dengan bantuan tetangga aku membopong ke rumah. Karena tak ada tanda-tanda lebih baik, kami membawanya ke RS. Haji. Sepanjang perjalanan, pikiranku berlari=lari.
Dan,kabar yang paling kutakutkan terjadi.bapak menghampiriku. Beliau menangis. Sudah cukup bahasa itu. Ya, menangis. Aku langsung bergegas menuju Ibu. Dokter dan perawat berjajar. Mereka berbicara. Tapi tak kupedulikan. Wajah ibu membeku. Matanya terpejam. Badanku bergetar hebat. Ku mendekat. Mencium pipinya berulang-ulng dengan air mata berhamburan.
***
Aku langsung masuk ke lubang itu. Ibuku nampak tenang. pakaian abadinya putih bersih. Ku sentuh tubuhnya dengan perasaan haru. Perasaan damai menjalar dalam tubuhku. Selesai diadzani, aku keluar dari lubang terakhir tersebut. Melihat dengan remuk, tanah-tanah menutup dua alam yang berbeda. Sejak itu, saya merasakan sepi. Sejak itu saya merasa sendiri. Air mata tak hentinya.
Aku pulang dari pemakaman Ibu dengan memeluk lengan Bapak. Kami berjalan gontai. Tentu, sudah akan banyak hal lain lagi yang masih disisakan Allah untuk kami cermati.
22 Oktober 1990
***
Catatan itu berakhir. Air mata saya yang jarang sekali tumpah, malam itu membanjir. Â Saya tutup buku harian yang puluhan tahun selalu setia menemani hidup mendiang suamiku.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI