Piala Dunia (Pildun) Â tanpa Italia menurut saya bukan piala dunia. Ia hanyalah turnamen tahunan biasa yang tidak berarti apa-apa. Tidak ada emosi. Tidak ada gairah. Dan tidak-tidak lainnya. Anda boleh tidak setuju dengan statement tersebut.
**
Saya kali pertama fokus piala dunia (pildun) di 2002. Korea-Japan. Setahun sebelumnya, saya baru newbi suka lihat sepak bola. Tepatnya ketika AS Roma juara liga.
Ya, awal mula ketertarikan bola, saya fans giallorossi. Ketika itu, ada pemilik tendangan geledek, Gabriel Omar Batistuta. Si gondrong yang kerap berselebrasi ala sniper. Ada juga Il Capitano, Francesco Totti yang kala itu masih gres.
Maka, saya jadi pendukung Italianya Totti dan Argentinanya Batistuta. Saat itu, bursa unggulan utama yakni Azzuri. Mulai dari kiper utama hingga cadangan, labelnya Bintang semua.
Hasilnya? Argentina tersingkir dini. Italia yang sempat lolos grup, dihabisi golden gol Ahn Jung Wan. Waktu itu saya yang duduk di bangku SMP, sedihnya bukan main.
***
Italia. Saking seringnya nonton liga Italia, kecintaan saya pada Azzurri menjadi-jadi. Perlahan saya sudah lupakan Argentina. Toh, Batistuta sudah perlahan menghilang dari timnas. Sementara Totti masih berseri.
Prestasi Roma yang anjlok dari waktu ke waktu, membuat saya pindah haluan. Saya mulai (awalnya memaksakan) Inzaghi dan Shevchenko di AC Milan. Jadilah saya milanisti.
Uniknya, meski saya antipati pada Inter, Juve, Lazio, dll, saya pasti akan mendukung bila berlaga di Piala Champions (sekarang Liga Champions). Puncaknya, dan mungkin hingga kini saya rindukan adalah all italian final. Tim merah hitam versus putih hitam. Milan vs Juve.
Begitupun juga dengan allenatore. Meski saya tidak menyukai Mancini semasa di Inter, saya mendadak jadi fans citizens. Begitu juga dengan Conte-nya Juve. Saya mendukung Chelsea. Juga Leicester, kala dilatih Ranieri. Apalagi kalau bukan Italian connections.
**
Pildun 2006 di Jerman, Italia datang dengan wajah buruk rupa. Skandal pengaturan skor yang melibatkan aktor utama Juventus, membuat azzuri dipandang sedang oleng dan kecil peluang untuk dapat gelar.
Hasilnya? Secara heroik mereka menumbangkan tuan rumah di semi final. Lalu diakhiri dengan tendangan Fabio Grosso kala adu penalti, membuat Prancis gigit jari di final. Italian jawara. Tentu jangan nanya apakah saya bahagia dan gembira.
Pildun selanjutnya, 2010 dan 2014, Italia kembali tersungkur. Namun, saya tetap mencintai timnas Azzuri. Kendatipun tak ada satu pemain AC Milan pun di dalamnya.
**
Tahun ini, kembali lagi ada piala dunia. Anehnya, saya tidak lagi euforia. Sebab tak lagi ada Italia di sana. Mereka dibenamkan Swedia di babak akhir kualifikasi.
Dan memang layaknya begitu. Italia kini tengah memasuki fase medioker. Liga Italia kini juga pamornya redup. Di kancah Eropa, klub-klubnya sempoyongan. Boleh jadi Juve menjadi penguasa Italia sampai kiamat, tapi ketika berlaga di Eropa, mediokernya kumat.
AC Milan? Pemegang titel eropa terbanyak kedua setelah Real Madrid, kini juga tengah berjuang keluar dari status medioker. Bila dengan cepat dulu saya pindah hati, dari Roma ke Milan, sekarang hati saya tetap di Milanello. Semedioker apapun.
Italia? Ya. Saya akan dengan senang hati menunggunya hingga nanti berlaga di Qatar. Pildun 2022.
Forza Azzuri. Per Sempre.
---
P.A/18
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H