Mohon tunggu...
Alit Teja Kepakisan
Alit Teja Kepakisan Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis di KOPPI

Menulislah dan tetap berpikir!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Golkarisasi dan The End of Jokowi

23 Maret 2024   12:19 Diperbarui: 23 Maret 2024   12:39 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalah atau Menang, Pokoknya Partai Pendukung Pemerintah

Pada saat Pemilu 1999 yang merupakan titik demokrasi di Indonesia, ternyata "orang-orang" Orde Baru masihlah ada yakni lewat Golkar. Meskipun PDIP (Bukan PDI) berhasil menang pada 1999 tetapi pada 2004, yang menang adalah Golkar. Hal ini juga tidak lepas bahwa Golkar yang berupaya melepaskan citra dirinya dari Orde Baru dengan mencoba membuat strategi yang mungkin tidak disengaja membawa citra bahwa "kini Golkar sudah demokratis" dan itu terlihat dalam Konvensi Capres Golkar yang saat itu diikuti oleh petinggi dan tokoh-tokoh Golkar yang kelak masih ada di Golkar dan mendirikan partai, antara lain : Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, Wiranto dan Prabowo. Saat itu, yang menang adalah Wiranto, maka pada 2004, Golkar yang dipimpin Akbar Tandjung secara resmi mengajukan nama Wiranto-Salahudin Wahid sebagai Calon Presiden dan Wakil Presiden 2004. Tetapi, hasil Wiranto-Salahudin Wahid adalah kalah dari SBY-JK dan Megawati-Hasyim Muzadi.

Head to Head, antara SBY-JK dan Megawati-Hasyim berhasil dimenangkan secara telak oleh SBY-JK, yakni oleh kuda hitam yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Secara peta politik, PDIP dan Golkar tentu saja berbeda dengan Demokrat, PBB dan PKS. Tetapi, bisa dikatakan bahwa sejak pemilihan langsung 2004, barangkali di titik ini Golkar mendeklarasikan bahwa Golkar adalah partai pemerintah. Dengan gerak yang cepat, JK mampu menjadi Ketua Umum Partai Golkar menggantikan Akbar Tandjung dan secara resmi bahwa Golkar adalah partai pendukung pemerintah. Bahkan, ketika JK berhadapan dengan SBY di 2009, pada akhirnya kursi Golkar berhasil direbut oleh SBY dengan menyingkirkan JK dengan Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum. Di 2014 kembali terjadi hal yang serupa, Golkar yang mendukung Prabowo-Hatta pada akhirnya menjadi nahkoda oposisi tetapi hanya sebentar dan kemudian hari konflik internal Golkar yang diawali oleh Agung Laksono dan Aburizal Bakrie kemudian hari pada akhirnya menyatu dengan Koalisi Indonesia Hebat alias Jokowi-JK.

Sejak 2004-lah menurut pandangan saya bahwa Golkar adalah partai yang sahamnya adalah secara penuh dimiliki oleh Pemerintah. Faktornya tentu saja adalah sejarahnya yang memang sudah pernah berkuasa secara penuh, kekuatan yang terbukti besar dan partai yang ideologi-nya hampir dipastikan tidak nasionalis juga tidak religius melainkan pragmatis dengan konsepnya "Pembangunanisme". Golkar, hampir tidak berdebat soal ideologi, tentu berbeda dengan PDIP dan PKS misalnya yang mewakili ideologi masing-masing dalam pengertian politik. Golkar yang khas dengan beringin itu adalah partai yang sampai kapanpun adalah partai yang akan khas dengan konsep dan filosofisnya yaitu : Karya-Kekaryaan dan Karya Siaga Gatra Praja yang memiliki arti Selalu Siap Membangun Negara. Penekanan terhadap pembangunanisme tentu tidak akan berbicara soal ideologi-ideologi. Golkar tetaplah di tengah dengan doktrinnya yang pernah dipakai oleh Soeharto yaitu Demokrasi Pancasila. Pemikiran-pemikiran soal sedikitnya partai dan stabilitas politik demi pembangunan sebenarnya berkelanjutan setelah reformasi.

Misalnya, dalam konteks Jokowi, semua partai sudah masuk ke Pemerintah. Dengan dilantiknya AHY, sudah makin jelas bahwa oposisi hanyalah PKS, kalau kita mau ukur bahwa partai pendukung Pemerintah adalah partai yang anggotanya masuk ke dalam kabinet. Demokrasi yang seharusnya berjalan di legislatif sebagai pengawas sekaligus penyeimbang kekuasaan, bahkan bisa jadi kelak akan menjadi tukang stempel saja dari apa yang diinginkan oleh Presiden (eksekutif). Hal ini terjadi pada Presiden Jokowi pada dua periode ini. Semua partai masuk pemerintah. Tetapi, barangkali bisa dilihat bahwa Jokowi merupakan seorang yang juga berpikir secara pragmatis bahwa pembangunan adalah yang utama dan dari soal ideologi, Jokowi tidak begitu menikmati seperti PDIP. Lalu, bagaimana Jokowi kaitannya dengan Golkarisasi? Apakah Jokowi itu sejalan dengan Golkar daripada dengan PDIP sesungguhnya? Lalu, apakah Golkarisasi sebenarnya lebih realistis daripada ideologisasi?

Perebutan Golkar dan Akhir Pemerintahan Jokowi

Jokowi datang dengan popularitas saat menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 2012. Lalu, dua tahun kemudian ternyata dia yang menjadi Presiden. Baju kotak-kotak, kesederhanaan dan bukan seorang berdarah biru adalah titik dimana bisa dikatakan kalau Jokowi datang dengan gayanya sendiri. Bukan seperti kader, bukan seperti tokoh partai dan partisan. Cenderung, Jokowi itu di tengah namun karena politik mensyaratkan bahwa Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden diusung oleh partai politik atau gabungan,maka Jokowi dicalonkan oleh PDIP sebagai calon presiden. Narasinya bahkan sangat kental dengan Soekarnois. Yaitu bagaimana misalnya Jokowi berbicara Trisakti dan di seberangnya yaitu Prabowo juga bergaya seperti Soekarno. Namun, ternyata Jokowi bukanlah seperti itu. Diam-diam, tetapi pembangunan yang diutamakan dengan ditariknya partai-partai dan bergabung hingga Demokrat yang dianggap bertentangan kini akhirnya masuk.

Memang, Golkar bukanlah pendukung atau pengusung Jokowi-JK tetapi dua elite dipegang antara lain : JK dan Luhut Binsar Panjaitan alias LBP. Tetapi, curahan hati Jokowi sering terucap di Golkar. Misalnya, dalam catatan saya antara lain Pidato di Golkar pada 2016 yang menyindir JK dan Luhut, lalu di 2019 menyindir Surya Paloh dan Sohibul Iman lalu di 2022 misalnya memberikan pesan yang diam-diam sedikit menyadarkan yaitu "Tolong berdiri, Pak Luhut!....Biasanya pakai batik ini pakai Jas Kuning" kira-kira begitu dan memang Jokowi dan Golkar apabila dipandang dari segi tujuan kepemimpinannya memang sangat pragmatis, bukan ideologis.

Gibran, sang putra Jokowi pun dengan berani naik ke kendaraan Golkar dan menjadi Calon Wakil Presiden. Dan, di periode Jokowi ini pula, Golkar merasakan kemenangan pertarungan, mengapa? Bisa dilihat ke belakang ketika di 2004 kalah, 2009 kalah dan 2014 pun kalah. Di periode kedua Jokowi, Golkar menang karena ikut arus dengan popularitas dan kesetiaan sejak 2017 bahwa Golkar akan menjadi pendukung Jokowi. Tetapi, apabila dilihat dari segi tokoh, Jokowi bukanlah politisi perjuangan seperti Ganjar atau Prabowo. Karena memang Jokowi menjadi kingmaker ketika ia menduduki kursi sebagai Presiden, bukan sebagai tokoh partai. Dan, Jokowi bukan sebagai organisatoris atau elit yang memiliki kekuatan tersendiri. Kalau PDIP, jelas Megawati, Gerindra jelas Prabowo, Golkar? Masih dihiasi oleh elit dan tokoh-tokoh lama yang masih berpengaruh antara lain misalnya Akbar Tandjung, Aburizal Bakrie, JK, Luhut dan elit-elit lainnya yang memiliki nama tersendiri.

Golkar tidak pernah terikat pada satu nama seperti PDIP misalnya yang identik dengan Megawati, PAN yang dulunya identik dengan Amien Rais, PKB dengan Gus Dur-nya dan Gerindra dengan Prabowo. Golkar, hampir bisa disebut dekat dengan doktrin atau sistem daripada dengan figur. Golkar tentu saja inklusif tetapi faktor --- faktor ketokohan di dalam internal Golkar tentu saja tidak bisa dilepaskan dari perjalanan panjang tokoh-tokoh tersebut, apakah Golkar akan menerima Jokowi yang karir politiknya itu kuat karena Presiden? Mungkin kita masih menunggu apa yang akan terjadi berikutnya. Tetapi, tidak ada yang tidak mungkin apabila Jokowi akan menjadi bagian dari elit Golkar sebelum masa jabatannya berakhir pada 20 Oktober 2024.

Karena sebagai "zoon politicon", sangat mungkin saja Jokowi merupakan politisi yang sebagai politisi catur yang selalu memiliki strategi untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaannya tetapi bukan sebagai politisi karir yang sudah lama berjuang dalam organisasi. Tantangan melakukan Golkarisasi tentu saja rumit bagi Jokowi, karena berhadapan dengan tokoh-tokoh yang terlebih dahulu memiliki tempat dan kedudukan serta faksi-faksi di dalamnya. Golkar adalah bagian dari sejarah politik. Terakhir, saya ingin mengatakan kalau Jokowi, apakah dimungkinkan mampu menguasai Golkar? Kita lihat kedepan! Apakah mampu menggunakan kekuatan cawe-cawe di saat kekuasaan kian terbenam? Karena, hanya Golkar yang pernah merasakan berkuasa lama. Golkar bukanlah seperti Partai Solidaritas Indonesia yang kursinya dengan mudah begitu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun