"Kapankah Munas Golkar tidak diintervensi Pemerintah?" tanya Salim Said kepada Akbar Tandjung lewat tulisannya dengan judul "Munaslub Golkar yang Diintervensi Pemerintah" lewat bukunya dengan judul "Jokowi Melawan Debt Collector".
Golkarisasi Soekarno dan Soeharto Kemudian
Tetapi, yang harus kita luruskan per hari ini adalah, meski Golkar sudah menjadi Partai Golkar pada 1998 tetapi Golkar tetap pemegang sahamnya adalah pemerintah! Siapapun dia, Golkar pasti dalam pemerintah. DNA Golkar bukanlah seperti Masyumi, PNI, PKI, PSI, NU ataupun yang lainnya pernah ikut Pemilu 1955. Golkar hidup di era dimana Soekarno yang menerapkan konsepsinya tentang Demokrasi Terpimpin, bukan Demokrasi Liberal yang diterapkan pada UUDS 1950. Tetapi, hidupnya gagasan fungsional apabila dikaitkan dengan politik-legal, Konstitusi UUD 1945 yang dirumuskan lalu dibentuk pada sidang BPUPK dan disahkan pada 18 Agustus 1945 adalah mengakomodasi konsep "kedaulatan rakyat" yang dilakukan oleh MPR dengan mengakomodasi golongan-golongan. Disinilah sebenarnya titik dimana kita dapat katakan bahwa Golongan Karya atau Partai Golkar itu yang kini kita kenal dengan kekuatan yang besar, bukanlah besar secara tiba-tiba melainkan lewat proses yang sangat panjang. Dwifungsi ABRI juga merupakan dimana Orde Baru mendapatkan limpahan inspirasi kekuatan lewat Orde Lama dalam hal ini Bung Karno menjadikan tentara sebagai politik-legal dan kemudian dibentuk suatu lembaga bernama Sekretarat Bersama Golkar (Sekber Golkar) yang dibentuk pada 20 Oktober 1964, walaupun sebelum Sekber Golkar sendiri, beberapa Kolonel sudah pernah masuk ke dalam Kabinet Djuanda. Kolonel Aziz Saleh, Kolonel Suprajogi dan Kepala Staf Angkatan Laut (1946--1948) Mohammad Nazir. Dan, masuknya tentara juga dilakukan oleh Soekarno sendiri memasukkanya lewat apa yang disebut sebagai Dewan Nasional.
Inti dari konsep dan dinamika yang terjadi adalah keinginan untuk melakukan penyatuan dan mengganti demokrasi liberal menjadi Demokrasi Terpimpin. Tentu semua akan mengatakan bahwa sebenarnya Demokrasi Terpimpin adalah bukanlah sebuah demokrasi sebagaimana yang sudah dipraktikkan sebelumnya tetapi sebuah demokrasi dengan cara yang terpimpin oleh Bung Karno dengan mengikutsertakan golongan-golongan fungsional walaupun nanti Bung Karno akan mengubah paradigma "Golkarisasi" menjadi "Nasakomisasi". Apabila melihat pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1953 :
"Dengan Dewan Perwakilan Rakyat yang lebih sempurna, kita dapat menyusun satu pemerintahan yang lebih stabil. Dengan pemerintahan yang lebih stabil, kita dapat melaksanakan rencana-rencana pembangunan dengan cara yang lebih continue, --- tidak terputus-putus seperti sekarang, karena terjadinya krisis Kabinet tiap-tiap kali. Karena itulah maka kita sekalian mengharap-harap dari Kabinet sekarang ini segera dapat dilaksanakannya pemilihan umum itu!"
Dan juga pada Penyambung Lidah Rakyat, Bung Karno juga mengatakan bahwa :
"Dalam Demokrasi Terpimpin yang menjadi unsur kunci adalah kepemimpinan. (...) Tidak ada pihak yang menang secara mutlak dengan menyingkirkan pihak lain. Hanya kepemimpinan yang kuat yang mampu memadukan keputusan terakhir; kalau tidak demikian sistem ini tidak akan berjalan."
Jadi, ibarat hari ini bahwa sepuluh partai di periode Demokrasi Terpimpin adalah pendukung pemerintah. Dan, semua tunduk pada kepemimpinan Bung Karno. Itu adalah stabilitas politik yang kemudian hari diradikalisasi lewat penyederhanaan partai-partai oleh Orde Baru yang menjadikannya sebagai fusi, antara lain : PDI, PPP dan Golkar. Secara definisi, partai politik hanya ada dua yaitu PDI dan PPP. Sedangkan, Golkar adalah golongan yang dulunya merupakan Sekber Golkar pada 1964 dan kemudian karena organisasi yang begitu banyak menjadi Kelompok Induk Organisasi (KINO) dan kemudian menjadi Golkar. Kalau dilihat secara kadar ideologis, PDI dan PPP adalah partai yang pernah bertarung di Pemilu 1955 dan mewakili ideologi masing-masing yaitu Nasionalis dan Religius. Hal ini terlihat dalam upaya penyederhanaan partai, semua partai itu dilebur menjadi satu-kesatuan yang mewakili ideologi itu masing-masing. Sedangkan kalau Golkar bagaimana? Karena terbentuk lewat golongan fungsional dan hidup di dalam Front Nasional dan kemudian pada 15--20 Oktober 1964 dibentuklah Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Golongan Karya Anggota Front Nasional dengan awal 71 organisasi dan dengan sepakat bahwa doktrin mereka adalah Sukarnoisme sebagai adalah doktrin untuk golongan karya.
Namun, antara Sukarnoisme dan Nasakom tentu sulit dibedakan. Karena, Bung Karno memiliki ide sebelum-sebelumnya dikenal sebagai ide satu partai atau Partai Pelopor. Ide inilah yang mungkin dikenal sebagai staatpartij atau partai negara yang memang mencakup keseluruhan, ia bukanlah demokrasi yang liberal dan memungkinkan partisipatif. Namun ide itu hidup dan didukung di saat tentara yang merasa bahwa partai politik sangat ikut mencampuri urusan internal mereka, bahkan ada yang dikenal sebagai Peristiwa 17 Oktober 1952 dengan cara tentara datang kepada Bung Karno untuk membubarkan parlemen. Titik pertemuan anti-partai antara Bung Karno dan Jenderal Nasution membuat tindakan politik yang saling mendukung. Bung Karno dengan keras ingin "mengubur partai-partai" dan Jenderal Nasution juga menunjukkan kemarahannya kepada partai politik ketika peristiwa 17 Oktober 1952.
Meski begitu, Angkatan Darat yang merupakan kekuatan politik Demokrasi Terpimpin bertentangan dengan Nasakom. Bukan karena Angkatan Darat anti terhadap Nas (Nasionalisme), A (Agama) melainkan anti terhadap Kom (Komunisme) yang sudah pernah memberontak di Peristiwa Madiun 1948 dan itu diwakili oleh PKI. Tetapi, Bung Karno tetaplah identik dengan Nasakom-nya. Bukan dengan PNI yang merupakan wadah pergerakan pra-Kemerdekaan apalagi Marhaenisme-nya. Kekecewaan ini bukan terhadap seorang Bung Karno melainkan karena kedekatannya dengan PKI membuat Angkatan Darat yang dianggap melenceng dari Panglima Besar Revolusi. Namun, sebagaimana yang dikatakan oleh Bung Hatta bahwa usia Demokrasi Terpimpin itu bahkan hanya berusia seperti usianya Bung Karno, maka Nasakom itu yang membunuh politik Bung Karno lewat tindakan Gestapu. Dan, Jenderal Soeharto, Pangkostrad yang mengambil alih kursi Panglima Angkatan Darat pada pagi hari 1 Oktober 1965 adalah pengganti Bung Karno di kemudian hari. Nasakom memang dibuang, tapi mesin Golkar digunakan dengan mencoba memanfaatkan Golkar yang menurut saya adalah tiga wajah : stabilitas politik, anti-partai dan akomodasi politik tentara. Meski, ide itu sebenarnya tidak original. Ada organisasi yang didirikan oleh Jenderal Nasution pada 1954 yaitu Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (1954) dan ikut pemilu 1955. Dan, Golkar bukan partai tetapi golongan! Jadi, ada semacam wajah anti partai yang berwujud dalam Golongan Karya itu sendiri.
Tiga besar organisasi dalam Sekber Golkar antara lain : Kosgoro, MKGR dan SOKSI kelak akan menjadi satu-kesatuan yaitu Golkar. Kejutan yang lebih menarik adalah kemampuan organisasi non-partai yang ikut dalam Pemilu 1971 yaitu Golkar mampu memenangkan pertandingan dengan suara 62,82% tetapi kemenangan inilah awal bagaimana Golkar bisa menjadi "entitas" politik yang kuat meskipun mereka hanya menekankan : karya-kekaryaan dan ideologi Pancasila. Tetapi, faktor Korpri-Hankam adalah intinya,bagaimana misalnya Golkar berhasil menjadikan kekuatan politik yang berbeda seperti PNI, NU, Masyumi, PKI dll. adalah partai yang memiliki basis akar rumput di bawah, sedangkan Golkar lebih kental dengan nuansa pemerintahan, ABRI dan teknokrat. Meskipun begitu, Golkar juga dibantu oleh tiga asas Orde Baru yaitu ABG (ABRI, Birokrasi dan Golkar) yakni PNS otomatis adalah Golkar. Bahkan, Golkar adalah selalu pemenang pemilu sejak 1971--1998, jadi pembentukan menjadi kekuatan politik yang besar tidaklah dengan waktu yang singkat melainkan dengan waktu yang panjang.
Kalah atau Menang, Pokoknya Partai Pendukung Pemerintah
Pada saat Pemilu 1999 yang merupakan titik demokrasi di Indonesia, ternyata "orang-orang" Orde Baru masihlah ada yakni lewat Golkar. Meskipun PDIP (Bukan PDI) berhasil menang pada 1999 tetapi pada 2004, yang menang adalah Golkar. Hal ini juga tidak lepas bahwa Golkar yang berupaya melepaskan citra dirinya dari Orde Baru dengan mencoba membuat strategi yang mungkin tidak disengaja membawa citra bahwa "kini Golkar sudah demokratis" dan itu terlihat dalam Konvensi Capres Golkar yang saat itu diikuti oleh petinggi dan tokoh-tokoh Golkar yang kelak masih ada di Golkar dan mendirikan partai, antara lain : Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, Wiranto dan Prabowo. Saat itu, yang menang adalah Wiranto, maka pada 2004, Golkar yang dipimpin Akbar Tandjung secara resmi mengajukan nama Wiranto-Salahudin Wahid sebagai Calon Presiden dan Wakil Presiden 2004. Tetapi, hasil Wiranto-Salahudin Wahid adalah kalah dari SBY-JK dan Megawati-Hasyim Muzadi.
Head to Head, antara SBY-JK dan Megawati-Hasyim berhasil dimenangkan secara telak oleh SBY-JK, yakni oleh kuda hitam yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Secara peta politik, PDIP dan Golkar tentu saja berbeda dengan Demokrat, PBB dan PKS. Tetapi, bisa dikatakan bahwa sejak pemilihan langsung 2004, barangkali di titik ini Golkar mendeklarasikan bahwa Golkar adalah partai pemerintah. Dengan gerak yang cepat, JK mampu menjadi Ketua Umum Partai Golkar menggantikan Akbar Tandjung dan secara resmi bahwa Golkar adalah partai pendukung pemerintah. Bahkan, ketika JK berhadapan dengan SBY di 2009, pada akhirnya kursi Golkar berhasil direbut oleh SBY dengan menyingkirkan JK dengan Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum. Di 2014 kembali terjadi hal yang serupa, Golkar yang mendukung Prabowo-Hatta pada akhirnya menjadi nahkoda oposisi tetapi hanya sebentar dan kemudian hari konflik internal Golkar yang diawali oleh Agung Laksono dan Aburizal Bakrie kemudian hari pada akhirnya menyatu dengan Koalisi Indonesia Hebat alias Jokowi-JK.
Sejak 2004-lah menurut pandangan saya bahwa Golkar adalah partai yang sahamnya adalah secara penuh dimiliki oleh Pemerintah. Faktornya tentu saja adalah sejarahnya yang memang sudah pernah berkuasa secara penuh, kekuatan yang terbukti besar dan partai yang ideologi-nya hampir dipastikan tidak nasionalis juga tidak religius melainkan pragmatis dengan konsepnya "Pembangunanisme". Golkar, hampir tidak berdebat soal ideologi, tentu berbeda dengan PDIP dan PKS misalnya yang mewakili ideologi masing-masing dalam pengertian politik. Golkar yang khas dengan beringin itu adalah partai yang sampai kapanpun adalah partai yang akan khas dengan konsep dan filosofisnya yaitu : Karya-Kekaryaan dan Karya Siaga Gatra Praja yang memiliki arti Selalu Siap Membangun Negara. Penekanan terhadap pembangunanisme tentu tidak akan berbicara soal ideologi-ideologi. Golkar tetaplah di tengah dengan doktrinnya yang pernah dipakai oleh Soeharto yaitu Demokrasi Pancasila. Pemikiran-pemikiran soal sedikitnya partai dan stabilitas politik demi pembangunan sebenarnya berkelanjutan setelah reformasi.
Misalnya, dalam konteks Jokowi, semua partai sudah masuk ke Pemerintah. Dengan dilantiknya AHY, sudah makin jelas bahwa oposisi hanyalah PKS, kalau kita mau ukur bahwa partai pendukung Pemerintah adalah partai yang anggotanya masuk ke dalam kabinet. Demokrasi yang seharusnya berjalan di legislatif sebagai pengawas sekaligus penyeimbang kekuasaan, bahkan bisa jadi kelak akan menjadi tukang stempel saja dari apa yang diinginkan oleh Presiden (eksekutif). Hal ini terjadi pada Presiden Jokowi pada dua periode ini. Semua partai masuk pemerintah. Tetapi, barangkali bisa dilihat bahwa Jokowi merupakan seorang yang juga berpikir secara pragmatis bahwa pembangunan adalah yang utama dan dari soal ideologi, Jokowi tidak begitu menikmati seperti PDIP. Lalu, bagaimana Jokowi kaitannya dengan Golkarisasi? Apakah Jokowi itu sejalan dengan Golkar daripada dengan PDIP sesungguhnya? Lalu, apakah Golkarisasi sebenarnya lebih realistis daripada ideologisasi?
Perebutan Golkar dan Akhir Pemerintahan Jokowi
Jokowi datang dengan popularitas saat menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 2012. Lalu, dua tahun kemudian ternyata dia yang menjadi Presiden. Baju kotak-kotak, kesederhanaan dan bukan seorang berdarah biru adalah titik dimana bisa dikatakan kalau Jokowi datang dengan gayanya sendiri. Bukan seperti kader, bukan seperti tokoh partai dan partisan. Cenderung, Jokowi itu di tengah namun karena politik mensyaratkan bahwa Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden diusung oleh partai politik atau gabungan,maka Jokowi dicalonkan oleh PDIP sebagai calon presiden. Narasinya bahkan sangat kental dengan Soekarnois. Yaitu bagaimana misalnya Jokowi berbicara Trisakti dan di seberangnya yaitu Prabowo juga bergaya seperti Soekarno. Namun, ternyata Jokowi bukanlah seperti itu. Diam-diam, tetapi pembangunan yang diutamakan dengan ditariknya partai-partai dan bergabung hingga Demokrat yang dianggap bertentangan kini akhirnya masuk.
Memang, Golkar bukanlah pendukung atau pengusung Jokowi-JK tetapi dua elite dipegang antara lain : JK dan Luhut Binsar Panjaitan alias LBP. Tetapi, curahan hati Jokowi sering terucap di Golkar. Misalnya, dalam catatan saya antara lain Pidato di Golkar pada 2016 yang menyindir JK dan Luhut, lalu di 2019 menyindir Surya Paloh dan Sohibul Iman lalu di 2022 misalnya memberikan pesan yang diam-diam sedikit menyadarkan yaitu "Tolong berdiri, Pak Luhut!....Biasanya pakai batik ini pakai Jas Kuning" kira-kira begitu dan memang Jokowi dan Golkar apabila dipandang dari segi tujuan kepemimpinannya memang sangat pragmatis, bukan ideologis.
Gibran, sang putra Jokowi pun dengan berani naik ke kendaraan Golkar dan menjadi Calon Wakil Presiden. Dan, di periode Jokowi ini pula, Golkar merasakan kemenangan pertarungan, mengapa? Bisa dilihat ke belakang ketika di 2004 kalah, 2009 kalah dan 2014 pun kalah. Di periode kedua Jokowi, Golkar menang karena ikut arus dengan popularitas dan kesetiaan sejak 2017 bahwa Golkar akan menjadi pendukung Jokowi. Tetapi, apabila dilihat dari segi tokoh, Jokowi bukanlah politisi perjuangan seperti Ganjar atau Prabowo. Karena memang Jokowi menjadi kingmaker ketika ia menduduki kursi sebagai Presiden, bukan sebagai tokoh partai. Dan, Jokowi bukan sebagai organisatoris atau elit yang memiliki kekuatan tersendiri. Kalau PDIP, jelas Megawati, Gerindra jelas Prabowo, Golkar? Masih dihiasi oleh elit dan tokoh-tokoh lama yang masih berpengaruh antara lain misalnya Akbar Tandjung, Aburizal Bakrie, JK, Luhut dan elit-elit lainnya yang memiliki nama tersendiri.
Golkar tidak pernah terikat pada satu nama seperti PDIP misalnya yang identik dengan Megawati, PAN yang dulunya identik dengan Amien Rais, PKB dengan Gus Dur-nya dan Gerindra dengan Prabowo. Golkar, hampir bisa disebut dekat dengan doktrin atau sistem daripada dengan figur. Golkar tentu saja inklusif tetapi faktor --- faktor ketokohan di dalam internal Golkar tentu saja tidak bisa dilepaskan dari perjalanan panjang tokoh-tokoh tersebut, apakah Golkar akan menerima Jokowi yang karir politiknya itu kuat karena Presiden? Mungkin kita masih menunggu apa yang akan terjadi berikutnya. Tetapi, tidak ada yang tidak mungkin apabila Jokowi akan menjadi bagian dari elit Golkar sebelum masa jabatannya berakhir pada 20 Oktober 2024.
Karena sebagai "zoon politicon", sangat mungkin saja Jokowi merupakan politisi yang sebagai politisi catur yang selalu memiliki strategi untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaannya tetapi bukan sebagai politisi karir yang sudah lama berjuang dalam organisasi. Tantangan melakukan Golkarisasi tentu saja rumit bagi Jokowi, karena berhadapan dengan tokoh-tokoh yang terlebih dahulu memiliki tempat dan kedudukan serta faksi-faksi di dalamnya. Golkar adalah bagian dari sejarah politik. Terakhir, saya ingin mengatakan kalau Jokowi, apakah dimungkinkan mampu menguasai Golkar? Kita lihat kedepan! Apakah mampu menggunakan kekuatan cawe-cawe di saat kekuasaan kian terbenam? Karena, hanya Golkar yang pernah merasakan berkuasa lama. Golkar bukanlah seperti Partai Solidaritas Indonesia yang kursinya dengan mudah begitu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H