Ada banyak data yang bisa dijejerkan untuk menunjukkan bahwa pendidikan di Papua mesti dijadikan sebagai arusutama yang harus dikedepankan dalam pembangunan. Data Kemendikbud tahun 2015/2016 menyatakan terdapat 43 persen anak usia sekolah yang tidak masuk SD, 58 persen tidak masuk SMP, dan 54 persen tidak masuk SMA.Â
Kemudian,  ada 7.600 ruang kelas SD rusak dan 2.300 ruang kelas yang tidak bisa dipakai, sedangkan untuk tingkat SMP ada 2.200 ruang kelas yang rusak  dan 300 ruang yang tidak bisa dipakai.
Padahal, sama-sama kita ketahui bahwa pendidikan menjadi fondasi sentral membangun peradaban bangsa ataupun daerah. Jika pembangunan pendidikannya saja sudah gagal, maka ihktiar membangun Papua bangkit, maju dan mandiri akan susah diwujudnyatakan. Belum lagi kegagalan ini sudah terjadi hampir di semua tingkatan pendidikan dasar. Padahal kalau di dasarnya saja Papua sudah gagal, maka di pucuk-pucuknya susah untuk diharapkan.
Fokus Bangun SDM
Apalagi kalau kita komparasikan dimana pemerintah lebih 'memilih' pemusatan pembangunan fisik (pembangunan jalan tol, pelabuhan, bandara hingga listrik) ketimbang pembangunan SDM-nya.Â
Pemerintah seolah sibuk memberikan 'ikan' tapi lupa mempersenjatainya dengan 'kail'. Padahal akan jauh lebih sempurna bila pembangunan juga dilakukan secara menyeluruh dan menyentuh manusianya. Penting dipahami bersama agar menjadi sandaran sama-sama bahwa tujuan pembangunan yang sebenarnya adalah manusia itu sendiri.
Yang terjadi malah 100 tahun pertama setelah tembok berhasil dibangun, mereka bukan malah hidup tenang, Cina bahkan terlibat peperangan besar sebanyak tiga kali. Ironisnya, pada setiap kali peperangan itu, pasukan musuh tidak menghancurkan tembok atau memanjatnya, tetapi cukup menyogok penjaga pintu gerbang.Â
Cina zaman itu telalu sibuk dengan pembangunan tembok, tetapi mereka lupa membangun manusianya. Dan hari ini, sama-sama kita tahu Cina dengan segala kehebatannya.
Bila kita mengekor dengan Tajuk Rencana Kompas (04/10), kita akan samakin paham lagi bahwa sangat penting melakukan pembenahan menyeluruh dalam semua bidang khususnya pendidikan dan kesehatan karena tanpa itu bukan hanya bonus demografi akan lewat tapi kita bisa diperhadapkan pada ancaman lost generation. Ini tentu bisa meremukkan ihwal harapan kita untuk membangun Papua selama ini bila 'bencana' ini benar-benar terjadi.
Padahal Neles Tebay dalam tulisannya yang berjudul "Mengakhiri Konflik Papua" (Kompas, 04/10/2016) secara gamblang sebetulnya sudah memetakan jalan persoalan yang sedang di hadapai Papua saat ini.Â
Dari empat peta masalah yang dia paparkan sebagaimana hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI, 2008), menempatkan pendidikan sebagai persoalan pertama dan terutama yang harus diselesaikan.Â
Mengakali ini, pemerintah memang tidak tinggal diam. Presiden Jokowi lewat jargonnya  "membangun dari pinggiran" mulai menggeser fokus perhatiannya ke Indonesia paling Timur itu. Presiden Jokowi bahkan mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 131/2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015-2019 untuk melakukan percepatan pembangunan di daerah tertinggal yang kebanyakan berada di Papua. Ditambah lagi dengan pendirian organisasi yang bersifat ad hoc seperti UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat).Â
Selain itu, kita juga bisa lihat dari rutinnya kunjungan Jokowi ke tanah Cendrawasih akhir-akhir ini. Baru-baru ini, bahkan kunjungan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyatakan  akan memetakan masalah pendidikan di Papua serta memaksimalkan pembagian Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk seluruh daerah di Papua.
Persoalan Dasar
Secara garis besar, sebetulnya ada dua persoalan dasar pendidikan yang perlu diperhatikan di Papua. Pertama, persoalan kekurangan guru yang hampir terjadi di seluruh daerah Papua, baik Papua Pegunungan maupun Papua Pesisir.Â
Dari data Kemendikbud tahun 2015/2016 menyebutkan ada 1.300 guru yang terdapat di Papua saat ini. Padahal, idealnya untuk bisa mengisi kantong-kantong sekolah yang kekurangan guru masih harus dibutuhkan 18.700 guru lagi.
Pertanyaannya, apakah karena bangsa ini kekurangan guru sehingga begitu banyak sekolah di Papua kekurangan guru? Jawabannya jelas tidak. Merujuk lagi dari data Kemendikbud tahun 2016 malah mencatat terdapat sebanyak 3.015.315 guru di Indonesia yang terdiri dari guru sudah berstatus PNS dan Guru Tetap Yayasan sebanyak 2.294.191 guru dan guru tidak dapat disertifikasi karena berstatus guru tidak tetap  sebanyak 721.124 guru.
Ditambah lagi dengan jumlah lulusan dari 12 LPTK eks Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang bertransformasi menjadi universitas hampir mencapai 100.000 sarjana pendidikan per tahun.Â
Dan, jumlah lulusan 417 LPTK swasta rata-rata sekitar 20.000 orang per tahun (Kompas, 18/06/2015). Bisa kita kalkulasikan sendiri dengan matematis sederhana. Realitasnya, persoalam yang terjadi adalah pemerintah tak bijak dalam meredistribusikan guru di seluruh daerah-daerah pelosok di Papua.
Persoalan kedua yaitu pembangunan pendidikan yang harus diselenggarakan terintegrasi dengan kontekstual budaya dan alam yang ada di Papua. Di Provinsi Papua misalnya terdapat tujuh wilayah adat (Mamta, Saireri, Bomberai, Domberai, Mipago, Lapago, dan Hainam) yang harus diperhatikan keistimewaannya.Â
Menjaga "keunikan" ini, Provinsi Papua bahkan sudah mengaturnya dalam Peraturan Daerah No 2/2013, pasal 30 ayat 3 yang menyatakan bahwa kurikulum dan bahan ajar pendidikan bagi anak Papua harus dipadukan dan disesuaikan dengan keanekaragaman fisik, hayati, bahasa dan sosial budaya Papua.
Hal ini tentu sejalan dengan cita-cita Bung Hatta, bapak founding fathers kita tentang bagaimana pendidikan itu adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan itu sendiri adalah proses pembudayaan (Revolusi Mental, Hal 23).Â
Sayangnya, persoalan kedua ini yang dalam tataran praktisnya yang sering terlupakan. Buktinya, kurikulum nasional, ujian nasional (UN), buku paket nasional sebagaimana yang penulis rasakan tetap dijalankan dan diberlakukan di pedalaman Papua yang semestinya masih menerapkan pembelajaran berkontekstual budaya.
Maka sebagai dampak turunan dari semua "kegamangan" ini, hasilnya kita bisa tebak sendiri. Pertama, buta huruf di Papua masih mencapai 28 persen dan menjadi angka tertinggi di seluruh Indonesia. Kedua, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) berada pada klasemen terendah yaitu sebesar 63 persen dibanding rata-rata nasional sebanyak 73 persen.Â
Ketiga, Hasil riset Bappenas pada  tahun  2012 bahkan menyatakan bahwa predikat daerah termiskin di Indonesia masih dipegang oleh Papua yaitu sebesar 31, 11 persen (Kompas.com, 05/05/2015). Hal ini tentu berkorelasi kuat antara pendidikan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Padahal, bukan rahasia umum lagi cara paling jitu mengangkat daerah dari kemiskinan dan segala ketertinggalannya dengan mempersenjatainya dengan kecakapan pendidikan.
Kita bahkan belum lagi sampai pada fakta yang lain tentang  faktor keamanan, potensi disintegrasi, pelanggaran HAM, dan tingginya HIV/AIDS di Indonesia paling Timur itu.Â
Namun kendati demikian, "tragedi" ketertinggalan masyarakat Indonesia paling Timur ini akan beres kalau agenda pembangunan pendidikan disungguhi, diwujudnyatakan dan ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat dan daerah secara konsisten.Â
Kalau tidak, maka bisa dipastikan panggung jenaka dan satir "kengerian" tentang bumi Cenderawasih itu akan santer terdengar hingga ke seluruh penjuru dunia yang kelak bisa dijadikan sebagai "bola liar" untuk merongrong kesatuan NKRI. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H