Padahal Neles Tebay dalam tulisannya yang berjudul "Mengakhiri Konflik Papua" (Kompas, 04/10/2016) secara gamblang sebetulnya sudah memetakan jalan persoalan yang sedang di hadapai Papua saat ini.Â
Dari empat peta masalah yang dia paparkan sebagaimana hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI, 2008), menempatkan pendidikan sebagai persoalan pertama dan terutama yang harus diselesaikan.Â
Mengakali ini, pemerintah memang tidak tinggal diam. Presiden Jokowi lewat jargonnya  "membangun dari pinggiran" mulai menggeser fokus perhatiannya ke Indonesia paling Timur itu. Presiden Jokowi bahkan mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 131/2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015-2019 untuk melakukan percepatan pembangunan di daerah tertinggal yang kebanyakan berada di Papua. Ditambah lagi dengan pendirian organisasi yang bersifat ad hoc seperti UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat).Â
Selain itu, kita juga bisa lihat dari rutinnya kunjungan Jokowi ke tanah Cendrawasih akhir-akhir ini. Baru-baru ini, bahkan kunjungan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyatakan  akan memetakan masalah pendidikan di Papua serta memaksimalkan pembagian Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk seluruh daerah di Papua.
Persoalan Dasar
Secara garis besar, sebetulnya ada dua persoalan dasar pendidikan yang perlu diperhatikan di Papua. Pertama, persoalan kekurangan guru yang hampir terjadi di seluruh daerah Papua, baik Papua Pegunungan maupun Papua Pesisir.Â
Dari data Kemendikbud tahun 2015/2016 menyebutkan ada 1.300 guru yang terdapat di Papua saat ini. Padahal, idealnya untuk bisa mengisi kantong-kantong sekolah yang kekurangan guru masih harus dibutuhkan 18.700 guru lagi.
Pertanyaannya, apakah karena bangsa ini kekurangan guru sehingga begitu banyak sekolah di Papua kekurangan guru? Jawabannya jelas tidak. Merujuk lagi dari data Kemendikbud tahun 2016 malah mencatat terdapat sebanyak 3.015.315 guru di Indonesia yang terdiri dari guru sudah berstatus PNS dan Guru Tetap Yayasan sebanyak 2.294.191 guru dan guru tidak dapat disertifikasi karena berstatus guru tidak tetap  sebanyak 721.124 guru.
Ditambah lagi dengan jumlah lulusan dari 12 LPTK eks Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang bertransformasi menjadi universitas hampir mencapai 100.000 sarjana pendidikan per tahun.Â
Dan, jumlah lulusan 417 LPTK swasta rata-rata sekitar 20.000 orang per tahun (Kompas, 18/06/2015). Bisa kita kalkulasikan sendiri dengan matematis sederhana. Realitasnya, persoalam yang terjadi adalah pemerintah tak bijak dalam meredistribusikan guru di seluruh daerah-daerah pelosok di Papua.