Mohon tunggu...
Maruntung Sihombing
Maruntung Sihombing Mohon Tunggu... Guru - Karya Nyata bukan Karya Kata

Saya seorang guru di Papua, juga suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Arus Utama Pendidikan Papua

20 November 2019   20:57 Diperbarui: 26 November 2019   07:21 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persoalan kedua yaitu pembangunan pendidikan yang harus diselenggarakan terintegrasi dengan kontekstual budaya dan alam yang ada di Papua. Di Provinsi Papua misalnya terdapat tujuh wilayah adat (Mamta, Saireri, Bomberai, Domberai, Mipago, Lapago, dan Hainam) yang harus diperhatikan keistimewaannya. 

Menjaga "keunikan" ini, Provinsi Papua bahkan sudah mengaturnya dalam Peraturan Daerah No 2/2013, pasal 30 ayat 3 yang menyatakan bahwa kurikulum dan bahan ajar pendidikan bagi anak Papua harus dipadukan dan disesuaikan dengan keanekaragaman fisik, hayati, bahasa dan sosial budaya Papua.

Hal ini tentu sejalan dengan cita-cita Bung Hatta, bapak founding fathers kita tentang bagaimana pendidikan itu adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan itu sendiri adalah proses pembudayaan (Revolusi Mental, Hal 23). 

Sayangnya, persoalan kedua ini yang dalam tataran praktisnya yang sering terlupakan. Buktinya, kurikulum nasional, ujian nasional (UN), buku paket nasional sebagaimana yang penulis rasakan tetap dijalankan dan diberlakukan di pedalaman Papua yang semestinya masih menerapkan pembelajaran berkontekstual budaya.

Maka sebagai dampak turunan dari semua "kegamangan" ini, hasilnya kita bisa tebak sendiri. Pertama, buta huruf di Papua masih mencapai 28 persen dan menjadi angka tertinggi di seluruh Indonesia. Kedua, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) berada pada klasemen terendah yaitu sebesar 63 persen dibanding rata-rata nasional sebanyak 73 persen. 

Ketiga, Hasil riset Bappenas pada  tahun  2012 bahkan menyatakan bahwa predikat daerah termiskin di Indonesia masih dipegang oleh Papua yaitu sebesar 31, 11 persen (Kompas.com, 05/05/2015). Hal ini tentu berkorelasi kuat antara pendidikan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Padahal, bukan rahasia umum lagi cara paling jitu mengangkat daerah dari kemiskinan dan segala ketertinggalannya dengan mempersenjatainya dengan kecakapan pendidikan.

Kita bahkan belum lagi sampai pada fakta yang lain tentang  faktor keamanan, potensi disintegrasi, pelanggaran HAM, dan tingginya HIV/AIDS di Indonesia paling Timur itu. 

Namun kendati demikian, "tragedi" ketertinggalan masyarakat Indonesia paling Timur ini akan beres kalau agenda pembangunan pendidikan disungguhi, diwujudnyatakan dan ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat dan daerah secara konsisten. 

Kalau tidak, maka bisa dipastikan panggung jenaka dan satir "kengerian" tentang bumi Cenderawasih itu akan santer terdengar hingga ke seluruh penjuru dunia yang kelak bisa dijadikan sebagai "bola liar" untuk merongrong kesatuan NKRI. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun