Penerimaan Negara Bukan Pajak atau yang lebih mudah dilafalkan dengan 'PNBP' adalah fenomena luar biasa yang mungkin tidak biasa didengar beberapa orang. Maklum jika berbicara tentang penerimaan negara, kabar-kabar yang dibawakan sang burung lebih sering menyebut-nyebut perpajakan. Tapi memang tidak sepenuhnya salah sang burung sih, karena PNBP ini bukan melulu soal berapa uang yang didapat oleh negara seperti layaknya di Perpajakan.Â
Sektor perpajakan secara khittah memang ditugaskan untuk mendapatkan penerimaan negara yang digunakan untuk membiayai segala kebutuhan primer bangsa ini yang notabene jumlahnya sangat besar. Beda dengan Pajak, meskipun PNBP "judulnya" Penerimaan, sejatinya tujuan utama PNBP ini bukan untuk "mengeruk" uang untuk negara. Memang benar kalau ujung-ujungnya duit PNBP juga masuk ke kas negara, tetapi sekali lagi, percayalah, asbabun nuzul dan tujuan PNBP bukan semata-mata untuk pundi-pundi kas negara.
Baiklah coba kita bahas pelan-pelan. Pertama, kita fokus dulu ke asbabun nuzul PNBP itu sendiri. Salah satu latar belakang dari semuanya sebenarnya adalah kebutuhan masyarakat akan beberapa layanan yang menjadi tugas Pemerintah. Yang perlu digarisbawahi, kebutuhan masyarakat di sini bukanlah kebutuhan primeryang di atas sudah saya sebutkan telah dibiayai dari hasil usaha kawan-kawan di bidang perpajakan.Â
Kenapa bisa saya bilang bukan kebutuhan primer? Karena tidak semua orang membutuhkan jasa pelayanan tersebut. Emang ada gitu? Ada dong, contoh mudahnya antara lain Paspor, visa, SIM, STNK, pendaftaran paten, dan layanan semacamnya. Harusnya tetep gratis dong? Bisa jadi tapi tidak juga. Kalau bicara ideal (banget) memang bisa jadi gratis, tapi kita tidak boleh menafikan fakta bahwa kemampuan keuangan negara terbatas karena sumbernya juga terbatas (mayoritas dari perpajakan tadi).
Mengingat kemampuan keuangan yang terbatas tersebut, tentu penggunaannya harus dialokasikan sesuai prioritas dan harus bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat Republik ini secara relatif adil. Menyikapi kenyataan yang demikian, untuk layanan-layanan yang saya katakan hanya dinikmati oleh orang-orang tertentu saja (dan waktu-waktu tertentu) tadi, Pemerintah mau tidak mau tidak bisa serta merta menggratiskan dan menyelenggarakan layanannya dengan uang perolehan pajak dari masyarakat.
 Emang mau, kita bayar pajak untuk membiayai penerbitan paspor artis yang akan jalan-jalan ke luar negeri, sedangkan kita hanya bisa jalan-jalan ke Taman Mini? (maaf bukan mendiskreditkan artis) Kalau saya sih ga mau. Dari situlah akhirnya PNBP lahir ke dunia yang fana ini. Jadi untuk mendapatkan jasa pelayanan akan kebutuhan tidak primertadi, masyarakat diminta membayar.
Tentu beda paling mencoloknya dengan pajak, dari pembayaran tersebut si pembayar seketika mendapatkan jasa dan produk layanan yang dibutuhkan. Sederhananya, yang dibayarkan itu sebagai "ongkos" untuk menghasilkan semisal paspor tadi. Selain itu juga untuk meningkatkan kualitas pemberian layanan dimaksud. Tidak mau kan paspor yang diterbitkan hanya berupa print-print anselembar kertas A4 karena kemampuan keuangan negara yang terbatas?
Belum lagi untuk PNPB seperti model pendaftaran paten. Misalnya, seorang peneliti berhasil menemukan suatu produk atau barang baru yang bermanfaat. Agar penemuan tersebut tidak diklaim oleh orang lain, si penemu tersebut harus mendaftarkan paten atas penemuannya. Pendaftarannya gratis? Bayar dong. Wah jahat sekali Pemerintah, orang hebat berhasil menemukan sesuatu yang baru malah dipalakin.Â
Tunggu dulu, jadi orang jangan cepet nyinyir, nanti cepat tuwir. Oke kita lanjutkan dulu, setelah didaftarkan patennya maka ketika produk hasil temuannya itu berhasil dijual, si penemunya tadi otomatis akan dapat royalti dari tiap penjualannya. Jadi, dari membayar paten di awal tadi, bisa menghasilkan pendapatan bagi si penemu yang bisa jadi besarannya jauh lebih besar dari yang dibayarkan. Kalau sudah begini, emang mau sampeyan bayar pajak buat bayarin hak patennya, terus penemuannya laku dan si penemu dapat duit sementara sampeyan cuma bisa gigit jari, jari kaki lagi? engga kan?
Tapi tentu, Pemerintah bukan preman yang bisa "memalak" semaunya sendiri. Besaran tarif PNBP yang dikenakan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah yang penetapannya melalui proses bertahap dan berlapis yang tentunya juga melibatkan elemen masyarakat terkait.
Lagian filosofi palak-memalak kan sebenarnya beda jauh dengan filosofi PNBP. Sebagai ilustrasi, saat saya SMP, pulang sekolah lewat di jalur pedestrian depan sekolah menuju halte pemberhentian angkutan umum. Di tengah perjalanan, ada preman yang mencegat kami dan meminta kami menyerahkan sejumlah uang. Katanya ongkos lewat jalan situ, kalau tidak dikasih, bogem mentahnya sudah siap bersarang. Padahal kan sebenarnya itu jalan umum, siapa saja boleh lewat situ, gratis juga.Â
Tapi preman ini seenak udelnya bikin tarif dengan konsekuensi yang mengancam keselamatan. Apalagi kami hanyalah anak SMP yang uang sakunya tak seberapa. Kasus ini jelas dan sepakat adalah bentuk "pemalakan". Jalan yang untuk siapa saja, tetiba dibikin tarifnya oleh orang yang ga jelas. Uangnya juga ga jelas digunakan untuk apa oleh si preman.
PNBP kan tidak seperti itu konsepnya. Sesuai penjelasan sebelumnya, layanan yang dikenakan PNBP ini adalah layanan yang dibutuhkan oleh orang-orang tertentu dan waktu-waktu tertentu. Tidak semua orang butuh paspor kan? Hanya orang yang akan ke luar negeri yang membutuhkan. Jadi menurut saya sudah sewajarnya dia membayar, karena layanan itu cuma bisa dinikmati oleh dia, tidak dinikmati oleh orang lain yang tidak berkepentingan. Adil kan?
Dari penjelasan di atas, sedikit demi sedikit sudah mulai tersingkap mengapa saya bilang bahwa meskipun PNBP "judulnya" Penerimaan, sejatinya tujuan PNBP ini bukan untuk "mengeruk" uang untuk negara bukan? PNBP ini ada, agar pemerintah dapat memberikan yang terbaik dalam menghasilkan pelayanan tertentu yang dibutuhkan hanya oleh sebagian masyarakat dalam waktu-waktu tertentu. Jadi fungsi utamanya bukan penerimaan tetapi penyelenggaraan pelayanan yang lebih baik dan terjangkau oleh masyarakat.
Secara prosedural memang PNBP ini harus langsung disetorkan dulu ke kas Negara, tetapi peruntukannya sudah jelas untuk digunakan lagi dalam menghasilkan pelayanan yang diberikan tadi. Uang dari PNBP hanya bisa digunakan untuk membiayai pelayanan yang menghasilkan PNBP tadi. Wah, kalau gitu enak dong bisa dipake sesuka hati? Jangan suka berburuk sangka dulu, penggunaan dana PNBP ini juga dibatasi oleh-oleh koridor-koridor yang jelas dalam Undang-Undang PNBP.
 Besarannya juga ditetapkan dalam persentase tertentu oleh Menteri Keuangan yang tentu dengan memperhatikan tingkat kewajarannya. Pengawasan duit-duit PNBP ini juga sudah sangat ketat dan transparan karena semuanya sudah terotomasi sehingga bisa menghalangi tangan-tangan panjang yang tidak bertanggung jawab.
Berdasarkan sekelumit uraian di atas, pernah kah Anda membayar PNBP untuk layanan tertentu semisal contoh di atas? Kalau belum, berarti Anda tidak rugi apa-apa kan? dan berarti Anda memang tidak atau mungkin belum membutuhkan layanan tertentu tersebut. Kalau ternyata Anda pernah membayar PNBP semisal contoh di atas, berarti memang Anda butuh layanan itu kan? Masa minta dibayari dari uang masyarakat, Cuma Anda lho yang dapat layanannya, tetangga Anda belum tentu dapat. Jadi mana "dipalak" nya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H