Siapa yang kadang merasa terganggu dengan penawaran agen asuransi? Mulai dari penawaran produk, peningkatan premi, atau bahkan tawaran untuk pindah ke produk perusahaan asuransi sebelah?
Namun yang lebih menyusahkan lagi, apabila si agen sulit untuk dihubungi. Padahal seyogyanya, nasabah perlu respon yang cepat, realtime kapan pun dimana pun.Â
Nah, di era perkembangan teknologi digital saat ini, industri asuransi harus mulai berbenah diri. Jangan sampai ketinggalan zaman seperti perusahaan lainnya yang mulai khawatir dengan keberadaan teknologi finansial (financial technologi/fintech).
![koleksi pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/02/15/20180124112313-img-7887-jpg-5a852823f13344639154c962.jpg?t=o&v=770)
"Industri asuransi mulai menyadari ini. Industri asuransi jiwa mulai mempelajari untuk masuk teknologi digital ini dalam menyampaikan produknya ke pasar," katanya di Jakarta, Rabu (24/1).
Mengutip data "Digital in 2017: Southeast Asia" dari We Are Social dan Hootsuite (2017), sekitar 132,7 juta jiwa dari 262 juta populasi di Indonesia merupakan pengguna internet. Sekitar 106 juta jiwa pengguna aktif media sosial dan 92 juta jiwa pengguna aktif media sosial melalui aplikasi bergerak (mobile).
Menurut Hendrisman, masyarakat butuh informasi dan respons langsung yang cepat dan tepat dalam mendapatkan kemudahan akses dan layanan, di manapun dan kapanpun.
"Sekarang pasar sudah di depan mata kita. Jarak (industri asuransi) dengan pasar sudah tidak ada. Teknologi digital sudah memperkecil jarak tersebut sehingga kita harus bekerja lebih efisien," ujarnya.
Untuk mengantisipasi perkembangan teknologi, AAJI akan menggelar serangkaian kegiatan Digital and Risk Management in Insurance (DRiM).Â
Inisiatif ini bertujuan merespon cepatnya perkembangan teknologi digital, khususnya hubungan perusahaan dengan konsumen, percepatan ragam proses bisnis dan penyebaran informasi, sekaligus membantu meningkatkan dan memajukan penetrasi asuransi jiwa di negeri ini.
Ketua Panitia DRiM Christine Setyabudi mengatakan, AAJI bekerja sama dengan Purwadhika Start-Up and Coding School, untuk menggelar hackathon start-up competition yang diikuti sekitar 100 orang generasi muda.
Mereka akan mempresentasikan ide dan karyanya terkait web dan aplikasi digital terkait proteksi asuransi jiwa.
Kegiatan ini kemudian akan diikuti seminar dan pameran oleh perwakilan pemerintah, regulator, pelaku asuransi jiwa, dan ahli teknologi dan digital. Mereka akan berbagi perkembangan teknologi digital dan manajemen risiko pada 22-23 Februari 2018 di Bali.
"DRiM merupakan kegiatan perdana atas inisiasi AAJI yang didukung pelaku industri asuransi jiwa yang memiliki tujuan sama dalam menjawab cepatnya perkembangan teknologi digital dan pengaruhnya pada industri," ujarnya.
"Dengan saling mendukung dan bekerja sama, kami yakin dapat memberikan aksi nyata pada kemajuan industri asuransi jiwa. Kita tahu, Indonesia negara ke-8 terbesar dalam penggunaan internet. Potensi ini seyogianya dimaksimalkan, termasuk mampu mengatasi risiko di dalamnya."
![koleksi pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/02/15/20180124104950-img-7880-jpg-5a85293df13344639154c964.jpg?t=o&v=770)
"Ini ada terobosan. Orang yang tidak mengerti asuransi, menawarkan platfom, jadi semacam etalase (produk asuransi) di situ," ujarnya.
Dengan pertimbangan ini, AAJI ingin lebih menyemangati industri asuransi jiwa agar lebih aktif dan mengaplikasikan teknologi digital lebih lengkap pada produk-produknya.
Menurut Christine, teknologi bisa membantu perusahaan asuransi jiwa dalam mengurangi risiko. Misalnya dengan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence), data riwayat penyakit pemegang polis bisa lebih transparan. Perusahaan asuransi akan lebih gampang meminimalkan risiko.
Dengan acara hackaton, generasi muda bisa menciptakan sebuah sistem aplikasi untuk mendekatkan asuransi jiwa ke konsumen. "Kami akan memfasilitasi mereka," ujarnya.
Sekitar 5 finalis hackaton akan dibawa ke Bali dan mendemonstrasikan aplikasinya di sana. Pada saat yang sama, aplikasi ini bisa berguna bagi anggota AAJI.Â
"Ini bisa jadi ide bagaimana mendorong calon pemegang polis mudah tahu asuransi, lebih mudah membeli produk asuransi, dan lebih mudah mengurus polis asuransi," ujarnya.
Namun, kata Christine, tidak semua perusahaan asuransi dalam posisi siap mengimplementasikan transformasi digital. "Namun, dari asosiasi, kita ingin membantu dalam level yang tidak terlalu jauh," kata Christine.
Kegiatan DRiM membidik partisipan yang akan mendapatkan 40 poin Manajemen Program Manajemen Risiko Asuransi dari Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia (AAMAI) dan 1 poin pengembangan profesional berkelanjutan (Continuous Professional Development/CPD) dari AAJI untuk agen asuransi jiwa yang hadir mengikuti pameran.
Perlunya Regulasi
Perkembangan teknologi mendorong perusahaan asuransi harus bekerja lebih giat mengejar ketertinggalan. Perusahaan rintisan (start-up) asuransi makin marak, tetapi belum diantisipasi dengan regulasi jelas.
Ketua AAJI Hendrisman Rahim sadar akan hal itu. "Regulasi belum mengatur ini. Apakah (market place) ini perusahaan asuransi? Itu sudah di luar konsep asuransi yang selama ini kita kenal. Yang jual produk ya tetap agen," ujarnya.
Namun, market-place ini mewakili beberapa perusahaan asuransi. Masalahnya, apakah market-place ini masuk agen atau broker, regulasi sedang mengaturnya.Â
"Industri harus sikapi ini dengan sebaik-baiknya. Ini saluran distribusi baru dalam menyebarkan asuransi ke konsumen."
Namun, industri asuransi jiwa tertolong dengan keberadaan market-place tersebut. Penetrasi pasar industri asuransi jiwa pada kuartal III-2017 naik 6,8 persen.Â
"Tapi dengan penetrasi baru ini (market-place asuransi) akan memberikan kesempatan besar. Kita semakin dekat dengan pasar, harus bisa penetrasi lebih besar daripada yang kita miliki selama ini," ujar Hendrisman.
Hendrisman yakin penetrasi pasar asuransi jiwa di Tanah Air akan membaik, bahkan bisa mengimbangi penetrasi di negara maju, seperti Inggris dan Jerman.
Dengan inisiatif seperti Digital & Risk Management in Insurance seminar dan hackaton tersebut, AAJI ingin mengejar ketertinggalan dan mengantisipasi perkembangan teknologi. Jika sudah demikian, tidak ada alasan industri asuransi jiwa akan ketinggalan zaman.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI