Namun, kata Christine, tidak semua perusahaan asuransi dalam posisi siap mengimplementasikan transformasi digital. "Namun, dari asosiasi, kita ingin membantu dalam level yang tidak terlalu jauh," kata Christine.
Kegiatan DRiM membidik partisipan yang akan mendapatkan 40 poin Manajemen Program Manajemen Risiko Asuransi dari Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia (AAMAI) dan 1 poin pengembangan profesional berkelanjutan (Continuous Professional Development/CPD) dari AAJI untuk agen asuransi jiwa yang hadir mengikuti pameran.
Perlunya Regulasi
Perkembangan teknologi mendorong perusahaan asuransi harus bekerja lebih giat mengejar ketertinggalan. Perusahaan rintisan (start-up) asuransi makin marak, tetapi belum diantisipasi dengan regulasi jelas.
Ketua AAJI Hendrisman Rahim sadar akan hal itu. "Regulasi belum mengatur ini. Apakah (market place) ini perusahaan asuransi? Itu sudah di luar konsep asuransi yang selama ini kita kenal. Yang jual produk ya tetap agen," ujarnya.
Namun, market-place ini mewakili beberapa perusahaan asuransi. Masalahnya, apakah market-place ini masuk agen atau broker, regulasi sedang mengaturnya.Â
"Industri harus sikapi ini dengan sebaik-baiknya. Ini saluran distribusi baru dalam menyebarkan asuransi ke konsumen."
Namun, industri asuransi jiwa tertolong dengan keberadaan market-place tersebut. Penetrasi pasar industri asuransi jiwa pada kuartal III-2017 naik 6,8 persen.Â
"Tapi dengan penetrasi baru ini (market-place asuransi) akan memberikan kesempatan besar. Kita semakin dekat dengan pasar, harus bisa penetrasi lebih besar daripada yang kita miliki selama ini," ujar Hendrisman.
Hendrisman yakin penetrasi pasar asuransi jiwa di Tanah Air akan membaik, bahkan bisa mengimbangi penetrasi di negara maju, seperti Inggris dan Jerman.
Dengan inisiatif seperti Digital & Risk Management in Insurance seminar dan hackaton tersebut, AAJI ingin mengejar ketertinggalan dan mengantisipasi perkembangan teknologi. Jika sudah demikian, tidak ada alasan industri asuransi jiwa akan ketinggalan zaman.Â