[caption caption="Spanduk penolakan ojek pangkalan terhadap Go-Jek"][/caption]
Di beberapa sudut Ibu Kota dan daerah, kini mulai terpampang spanduk berisi penolakan ojek pangkalan terhadap ojek online seperti Go-Jek dan GrabBike. Mereka beranggapan, ojek online tersebut telah menggerus pendapatan ojek pangkalan.
Beberapa pengojek pangkalan yang saya temui di Kenari, Salemba, Jakarta Pusat mengaku, untuk mendapatkan penumpang, ojek pangkalan bekerja sama dengan masyarakat sekitar dalam memakai jasa ojek pangkalan.
“Kami kerja sama dengan orang sekitar. Biasanya mengantar anak sekolah atau mengantar warga yang bekerja pagi-pagi,” kata salah satu pengojek.
Kehadiran Go-Jek telah menggerus pendapatan ojek pangkalan. “Biasanya Rp 100 ribu sehari. Sekarang Rp 50 ribu sudah syukur,” ujar dia.
Selain itu, dia pun hingga rela menurunkan tarif hampir 50 persen dari biasanya agar penumpang langganannya tidak beralih. “Kami juga pasang tarif murah tapi kami tidak sanggup terlalu besar karena harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sekarang mahal,” kata dia.
Cara tersebut dinilai cukup efektif menghalau serbuan ojek online. Masyarakat sekitar pun mendukung aksi tersebut dan membantu mengusir ojek online dari wilayah ojek pangkalan. “Seperti orang tua yang tahu kami sejak lama, mereka mau kerja sama mengusir ojek online,” katanya.
Dia pun tidak dapat bertindak anarki ketika ada ojek online yang datang mengantar penumpang ke areanya. Dia hanya memeringatkan pengojek online untuk tak kembali ke daerah tersebut agar tak menurunkan penghasilan ojek pangkalan. “Kami hanya bisa menegur. Jangan ambil penumpang di sini,” katanya.
Pengojek yang saya temui di sekitar ICE BSD City mengaku datang dari berbagai wilayah, seperti dari Kebayoran Lama. “Kebetulan tadi saya bawa penumpang dari Kebayoran Lama ke sini. Daripada saya balik lagi, saya mengambil penumpang dari sini saja. Ternyata banyak yang ke area pameran sini,” katanya.
Kebetulan saat itu hari Minggu (30/8) yang bertepatan dengan hari terakhir pameran mobil di ICE BSD City. “Tadi mengantar sales personal girls (SPG) dari Kebayoran ke sini. Dia mau membayar Rp 60 ribu karena tarif setelah 25 kilometer akan disesuaikan dengan jarak. Biasanya per kilometer dihitung Rp 4.000,” katanya.
Nah, obrolan tersebut saya ketahui dari ojek online yang hidupnya berubah setelah menjalankan ojek aplikasi. “Meski saya sudah tua, saya harus adaptasi. Kalau tidak seperti ini, saya akan tergilas ojek aplikasi,” katanya.
Sebenarnya penolakan ojek aplikasi ini tidak hanya terjadi di Jakarta. Di Bali juga terjadi penolakan GrabTaxi karena pengusaha penyewaan mobil menjadi kurang laku.
Saat mengantar dari ICE BSD City ke Stasiun Serpong, pengojek online tersebut terus bercerita suka duka menjadi pengojek, termasuk ketakutannya saat berhadapan dengan ojek pangkalan. “Intinya, kita sama-sama cari rezeki. Saya juga tidak berniat mengambil rezeki mereka,” katanya.
Saat tiba di Stasiun Serpong, pengemudi Go-Jek tersebut justru menurunkan saya di dekat pangkalan ojek. Tatapan sinis pengojek pangkalan tersebut sudah terjadi sejak melihat helm dan jaket hijau. “Habis ini langsung cabut ya. Jangan ambil penumpang dari sini,” kata pengojek pangkalan tersebut sambil memberi tanda mengusir.
Sopir Go-Jek yang mengantarku tersebut hanya mengangguk dan memutar sepeda motornya. Mereka langsung berlalu, hilang dari pangkalan ojek.
Saya teringat kata-kata dari Novel Filosofi Kopi karya Ibu Suri Dee Lestari di halaman 42. Hidup ini cair. Semesta ini bergerak. Realitas berubah. Seluruh simpul dari kesadaran kita berkembang mekar.
Hidup akan mengikis apa saja yang memilih diam, memaksa kita untuk mengikuti arus. Kamu, tidak terkecuali kamu, sang pengojek pangkalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H