Presiden Soekarno pernah menyatakan, beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Dan beri aku 10 pemuda, niscaya akan ku guncangkan dunia.
Pernyataan presiden pertama Indonesia tersebut bisa jadi menjadi inspirasi bagi Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) yang mengajak masyarakat Indonesia untuk merevolusi mental.
Saat ini, mental masyarakat Indonesia dinilai lemah karena berbagai kasus kriminal masih tinggi, seperti Jakarta, Kota Paling tak Aman Sejagad dan Kejahatan akan Marak Akibat Desakan Ekonomi atau 25 Negara dengan Tingkat Kriminalitas Tertinggi.
Dari sisi keuangan, mental korupsi juga belum bisa ditangani. Baca: Tren Korupsi Naik Lagi. Dan masih sederet kejadian negatif lainnya di Tanah Air.
Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga (KSPK) Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Sudibyo Alimoeso mengatakan, remaja yang menjadi bagian keluarga menjadi fokus implementasi revolusi mental.
Ia menilai, kebijakan pembangunan keluarga melalui pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga. Caranya meningkatkan kualitas anak melalui pemberian akses informasi, pendidikan, penyuluhan, dan pelayanan tentang perawatan, pengasuhan dan perkembangan anak.
Di kalangan remaja, keluarga harus menjaga pemberian akses informasi, pendidikan, konseling, dan pelayanan tentang kehidupan berkeluarga.
Pada 2035, Indonesia diprediksi memiliki jumlah usia kerja menjadi 207 juta jiwa dari 50 juta jiwa pada 2010. Peningkatan jumlah penduduk pun memunculkan risiko kerawanan sosial yang bisa dipicu dari pelemahan ekonomi dan kekurangan kasih sayang dalam berkeluarga.
"Ke depan, isu strategis masih terkait program pembangunan keluarga," katanya.
Selain itu, ada sistem meso yang terdiri atas teman sebaya, tetangga, lingkungan bermasyarakat, posyandu, kelompok bersosialisasi, hingga tempat pendidikan/sekolah.
Di sistem ekso ada lingkungan pelayanan sosial dan umum peduli anak, remaja, lansia, hingga tingkat sosial ekonomi.
Dari sisi makro, pemerintah akan menjamin hukum atau regulasi yang kondusif, norma, agama, jaminan sosial hingga pembiayaan. "Kebijakan yang kami rilis untuk mendukung keluarga agar dapat melaksanakan fungsi keluarga secara optimal. Tapi memang semuanya harus dilakukan mulai dari keluarga," katanya.
Pakar Hukum Tata Negara Margarito menyebut, revolusi mental dibutuhkan. Birokrasi kita sekarang ini sudah kacau. Anggota dewan kita sudah tidak mencerminkan perilaku mereka sebagai perwakilan rakyat. "Itu memicu kita cemas. Untuk itu, kita harus membuat perubahan," katanya.
Nah, keluarga sebagai salah satu sistem terkecil dalam sebuah negara perlu membina dari sisi pendidikan, kesehatan/gizi, agama, hingga pengasuhan.
Dari masalah keluarga, keluarga terutama remaja perlu diberi pengetahuan tentang nikah dini/perceraian, kemiskinan, narkoba, seks bebas, hingga urusan aborsi.
"Dengan pendidikan formal dan non formal serta bantuan keluarga, kualitas anak dan remaja akan meningkat. Imbasnya, ketahanan dan kesejahteraan keluarga akan tercipta serta bisa mengurangi tindakan kriminalitas," kata Sudibyo.
Caranya dengan bina keluarga balita (BKB), mendidikan orang tua hebat dalam mengasuh anak, dan menyasar program generasi remaja di kalangan pelajar dan mahasiswa. "Melalui program pembangunan keluarga yang komprehensif sebagai implementasi revolusi mental dapat meningkatkan kualitas keluarga yang berkarakter guna mewujudkan Indonesia sejahtera," katanya.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H