Waktu bagi guru, yang sudah tertera di jadwal mengajar sangatlah berharga. Sebab, waktu bagi guru tak sebatas berkaitan dengan dirinya sendiri. Tetapi, terhubung langsung dengan siswa.
Menyadari bahwa waktu bagi guru terhubung langsung dengan siswa, bahkan kebutuhan siswa, maka sudah semestinya guru menghargai waktu yang sudah ada di jadwal mengajar.
Kapan guru harus memasuki ruang belajar. Kapan guru harus pindah ke ruang belajar yang lain, yang bukan mustahil meninggalkan ruang belajar sebelumnya. Yang, selanjutnya ruang belajar yang ditinggalkan dimasuki oleh guru yang lain.
Hal ini menunjukkan bahwa setiap guru memiliki waktu yang mengharuskan ia terlibat langsung di dalamnya. Karena, harus membersamai siswa. Hanya, bukan berarti bahwa mereka tak memiliki waktu istirahat. Ada waktu untuk istirahat.
Sebab, sekuat apa pun, orang, termasuk guru, memerlukan waktu untuk beristirahat. Agar, fisik dan psikis dapat kembali segar untuk berlanjut melaksanakan aktivitas berikutnya.
Waktu istirahat, yang salah satunya, berfungsi untuk mengembalikan kondisi fisik dan psikis ke kondisi yang normal, diarahkan untuk memberi kualitas yang sama dalam membersamai siswa. Baik dalam membersamai siswa, atau lebih tepatnya, kelompok siswa yang satu maupun kelompok siswa yang lain. Agar, mereka mendapat perhatian yang sama.
Maka, waktu yang dijadwalkan untuk membersamai siswa memang harus diterapkan secara sungguh-sungguh. Guru tak boleh mengabaikannya. Artinya, membersamai siswa sesuai dengan jadwal bagi guru merupakan keharusan.
Tentu saja tak harus seperti ini jika guru memang ada halangan. Misalnya, sedang sakit. Atau, aktivitas yang tak dapat ditinggalkan, sebut saja, misalnya, harus mengikuti pelatihan.
Adanya halangan seperti yang disebut di atas bukan berarti siswa dibiarkan saat ada jam pelajaran guru termaksud. Siswa tetap memiliki keterhubungan dengan guru yang dimaksud melalui tugas yang diberikan kepada mereka.
Dalam kondisi ini, guru yang tertib waktu tak akan membiarkan jam mengajarnya terabaikan. Ia tetap memberikan tugas yang harus dikerjakan oleh siswa. Sehingga, siswa pun, karena sudah terbiasa dengan pola mengajar dan mendidik guru termaksud, tak ada siswa yang abai tugas yang harus diselesaikan.
Akan berbeda dengan guru yang pola mengajar dan mendidiknya abai terhadap waktu alias tak menghargai waktu. Misalnya, sudah saatnya bel tanda masuk berbunyi, ia belum beranjak dari ruang guru untuk menuju ruang belajar siswa. Siswa pasti abai juga terhadap waktu jam masuk.
Pada poin inilah mental siswa tak terawat. Sebab, dalam kerangka pikir mereka sudah terbentuk imaji bahwa guru ini atau guru itu pasti tak tepat waktu memasuki ruang kelas. Sehingga, mereka santai saja sekalipun bel tanda masuk sudah berbunyi.
Tetapi, saat jadwal guru yang menghargai waktu, mereka sudah dapat mengontrol diri. Sehingga, mereka memasuki ruang kelas atau ruang belajar sesuai dengan bel tanda masuk berbunyi.
Akhirnya, mereka tak terlambat memasuki proses pembelajaran. Meski saja sangat mungkin sebagian dari mereka ada yang melakukannya secara terpaksa.
Dalam semua ini hendak menunjukkan bahwa benar-benar mental siswa tak dapat terawat dengan baik. Mental mereka berubah-ubah. Tak memiliki ketetapan.
Kadang begini; kadang begitu. Kasihan siswa bukan? Sebab, ada guru yang menghargai waktu, tetapi di lain waktu ada juga guru yang tak, atau kurang menghargai waktu.
Siswa, jika boleh diungkapkan dengan bahasa yang berbeda, dalam konteks ini menjadi korban. Sebab, mereka tak memiliki patokan yang tetap. Bagi siswa yang lebih senang jika guru terlambat mengajar --umumnya sebagian kecil-- sangat menyukainya. Sebab, mereka dapat beraktivitas bebas.
Tetapi, perlu diketahui bahwa keadaan demikian tak mendukung mental siswa terbangun secara positif. Sementara, tujuan guru membersamai siswa, salah satunya, adalah agar siswa memiliki mental yang positif.
Tak hanya mental satu-dua siswa, yang notabene membutuhkan perhatian khusus, yang tak terawat. Tetapi, dapat saja merembet terhadap siswa yang lain, termasuk terhadap siswa yang selama ini oleh karena keteguhannya, mentalnya terawat.
Tanda bahwa mental siswa terawat di antaranya adalah ia aktif terlibat dalam proses pembelajaran. Karenanya, ia merasa kehilangan jika ada guru yang tak mengajar. Bahkan, sekalipun guru termaksud terlambat masuk ruang kelasnya saat ada jadwal mengajar.
Bukankah siswa yang sudah terawat mentalnya oleh karena keteguhannya, seperti yang disebut di atas, akhirnya mengalami ketaknyamanan? Belum lagi, temannya, yang notabene memiliki sikap sangat menyukai jika ada guru yang tak mengajar alias jam kosong (jamkos), sedikit banyak mengganggunya bukan?
Kenyataan ini yang saya sebut sebagai kurang dapat merawat mental siswa. Karena, kondisi yang terjadi, baik terhadap siswa yang mentalnya terawat oleh keteguhannya maupun terhadap siswa yang menyukai jamkos, kurang menyediakan ruang tumbuh kembang mental siswa ke arah yang positif dan produktif.
Itu sebabnya, sudah seharusnya, guru perlu sungguh-sungguh menghargai waktu sesuai dengan jadwal mengajar. Baik saat memasuki ruang kelas pada jam pertama maupun pada saat memasuki ruang belajar dalam momen ganti mata pelajaran (mapel).
Sebab, jika guru tak, atau kurang menghargai waktu sesuai dengan jadwal mengajar, jelas sikap ini kurang mendukung tujuan pendidikan nasional.
Yaitu, seperti yang termuat di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Karenanya, jika dikembangkan ke pemikiran yang lebih jauh, guru yang tak atau kurang menghargai waktu sesuai dengan jadwal mengajar, tak turut merawat mental bangsa. Bagaimana turut merawat mental bangsa kalau riilnya dengan tak, atau kurang menghargai waktu sesuai dengan jadwal mengajar, juga berdampak terhadap siswa, yang adalah generasi penerus yang harus merawat bangsa ini.
Prihatinnya, jika kita, guru, mau introspeksi diri sebetulnyalah, ia, Â yaitu guru yang tak atau kurang menghargai waktu sesuai dengan jadwal mengajar, pun tak merawat mentalnya. Juga, dapat merembet ke mental guru yang lain. Sekali pun guru yang lain hanya sekadar membatin, mencela dalam hati.
Ini hal yang sederhana sepertinya. Tetapi, dampak buruknya melebar ke mana-mana. Dan semuanya, melukai banyak pihak sampai bangsa dan negara.
Itu sebabnya, saya yang merasa tak selalu dapat menghargai waktu sesuai dengan jadwal mengajar harus terus mau belajar dan diingatkan oleh siapa pun, termasuk siswa, yang telah terawat mentalnya oleh karena keteguhannya. Anda, Bapak Ibu guru, bagaimana?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI