Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Guru Menjaga Rasa Kegembiraan Siswa Seusai Liburan Itu Penting

7 Januari 2025   11:20 Diperbarui: 8 Januari 2025   05:07 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak ingin berangkat sekolah. (Dok. Shutterstock/Odua Images)

Siswa masuk sekolah setelah liburan merupakan momen yang sangat berharga. Sebab, sudah pasti saat liburan, siswa menikmati kegembiraan. Mereka tak beraktivitas belajar seperti hari-hari efektif sekolah.

Aktivitas mereka saat liburan lebih bebas. Aktivitas yang dilakukan disesuaikan dengan kesukaan masing-masing. Yang senang berolahraga, pasti hari-hari liburnya diisi dengan olahraga. Yang suka memasak, hari-hari liburnya diisi dengan kegiatan masak-memasak.

Yang menyukai membaca buku, melihat film, atau aktivitas-aktivitas lainnya, tentu memfokuskan aktivitas-aktivitas termaksud pada hari-hari liburnya.

Bahkan, tak sedikit mereka mengisi liburan dengan berkunjung ke leluhur (nenek-kakek), saudara, atau mungkin ke destinasi tertentu bersama keluarga atau teman. Intinya, dalam masa liburan, siswa yang notabene anak, rasa kegembiraannya terpenuhi.

Rasa kegembiraan seperti ini yang barangkali tak ditemukannya pada saat sekolah. Sebab, pada hari-hari efektif sekolah, mereka disibukkan dengan beragam aktivitas belajar.

Baik belajar di sekolah maupun di luar sekolah, misalnya, les di bimbingan belajar, belajar kelompok, atau belajar di komunitas-komunitas tertentu. Bahkan, mungkin ada aktivitas ulangan, mengerjakan tugas sekolah, dan melaksanakan tugas kelompok.

Sekalipun mungkin ada juga siswa yang sekalipun sibuk dengan berbagai aktivitas sekolah tetap merasa gembira. Tetapi, riilnya, siswa yang seperti ini sangat kecil jumlahnya. Rerata, mereka merasa bahwa aktivitas selama hari-hari efektif sekolah sangat melelahkan.

Karenanya, liburan sekolah seolah sebagai oase bagi mereka. Yang, dapat memberi kelegaan bagi mereka. Rasa lega dan tak terbeban membawanya kedalam suasana benak yang penuh kegembiraan.

Suasana benak yang penuh kegembiraan inilah yang boleh disebut sebagai aura positif dalam diri siswa. Sebab, dalam konteks belajar, yang sangat penting adalah menghadirkan suasana kegembiraan.

Ilustrasi: Siswa terlihat gembira dalam pembelajaran, diambil dari kompas.com
Ilustrasi: Siswa terlihat gembira dalam pembelajaran, diambil dari kompas.com

Belajar dalam suasana yang gembira, kita yakini bersama, memberi pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa. Artinya, ada perubahan dalam diri siswa karena proses pembelajaran.

Siswa tak hanya mendapatkan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga memperoleh sikap yang memberi ruang berterima terhadap semua proses pembelajaran yang diikuti. Sehingga, kompetensi dirinya mengalami tumbuh kembang secara optimal.

Itu sebabnya, aura positif yang dimiliki oleh siswa harus tetap bertahan ada dalam diri siswa. Aura ini yang seharusnya memenuhi keberlangsungannya dalam menjalani pendidikan.

Hanya, memang, berdasarkan pengalaman saya sebagai guru, sebagian besar siswa membutuhkan perjuangan (yang keras) untuk mampu mempertahankannya.

Artinya, jika siswa tak mampu memperjuangkan aura positif ini tetap ada, maka yang kemudian terjadi adalah muncul hambatan dalam proses pembelajarannya. Hal ini berdampak buruk terhadap tumbuh kembangnya.

Tetapi, kalau siswa mampu memperjuangkan aura positif ini tetap ada, maka yang kemudian terjadi adalah mereka dapat mengikuti setiap proses pembelajaran dengan antusiasme tinggi. Hal ini tentu berefek baik terhadap tumbuh kembangnya.

Hanya, karena sebagian besar siswa --sekali lagi, berdasarkan pengalaman-- membutuhkan perjuangan (yang keras) untuk mampu mempertahankannya, maka guru memiliki peran penting dalam konteks ini. Kehadiran guru seutuhnya di antara siswa sangatlah dibutuhkan.

Sebab, guru, telah diarahkan memiliki kompetensi yang dapat dimanfaatkan untuk membersamai siswa agar tetap memiliki rasa kegembiraan dalam proses pembelajaran.

Setidak-tidaknya kompetensi kepribadian dan sosial yang dimiliki guru dapat diberdayakan untuk membantu siswa dalam mempertahankan rasa kegembiraan atau aura positif termaksud.

Maka, sudah selayaknya guru menempatkan kompetensi kepribadian dan sosialnya seimbang dengan kompetensi pedagogik dan profesionalnya.

Bahkan, pada zaman sekarang, mengikuti dinamika keberlangsungan hidup anak, yang notabene siswa, yang tak dapat terhindar dari dampak teknologi informasi, kompetensi kepribadian dan sosial guru memiliki peran yang lebih besar ketimbang kompetensi pedagogik dan profesional.

Sebab, teknologi informasi yang boleh dibilang menyajikan secara vulgar berbagai informasi yang tak terbatas, yang anak pun dapat mengakses, ternyata tak selalu berdampak baik terhadap anak.

Termasuk berdampak kurang menguntungkan terhadap keberlangsungan pendidikannya. Yang, di antaranya, misalnya, ditandai dengan semangat belajar rendah, konsentrasi kurang, daya juang yang lemah, dan mudah putus asa.

Karenanya, saat aura kegembiraan masih melekat dalam diri siswa seusai liburan, guru memiliki kewajiban untuk menjaganya. Agar, kegembiraan ini tetap terus dialami oleh siswa. Sebab, rasa kegembiraan merupakan modal yang (sangat) penting untuk mendukung proses pembelajaran siswa.

Itu sebabnya, yang perlu dipahami oleh guru adalah sekalipun hanya menjaga rasa kegembiraan siswa yang tampaknya sederhana, tetapi hal ini termasuk tugas dan fungsi (tupoksi) guru yang tak dapat diabaikan.

Sebab, kegagalan menjaga rasa kegembiraan siswa selama proses pembelajaran menjadi sebuah indikasi kegagalan proses pembelajaran seutuhnya. Sebab, sudah pasti siswa tak mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna dalam proses pembelajaran termaksud.

Riilnya memang tak mudah mewujudkannya. Sekalipun barangkali ada (juga) guru tertentu yang dapat mewujudkannya secara mujarab. Karena, kompetensi kepribadian dan sosialnya sungguh diimplementasikan secara utuh dalam tupoksinya sebagai guru.

Tetapi, bukan berarti bawa guru, termasuk saya, yang belum dapat mewujudkan perihal ini secara maksimal, diam saja. Menerima saja yang terjadi. Bahkan, bersikap pasif. Tentu tak seperti ini.

Selalu mau belajar untuk dapat memperkuat kompetensi kepribadian dan sosial agar dapat membersamai siswa dalam proses pembelajaran selalu berada dalam rasa kegembiraan sebagai sebuah alternatif yang harus dilakukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun