Tak sedikit yang bekerja di daerah lain. Lantas, membangun rumah tangga di tempat ini. Menjadi warga masyarakat di luar daerah asalnya. Dan, mungkin saja di antaranya ada yang saudara kita, bahkan kita sendiri.
Maka, momen libur Nataru, seperti saat ini, dapat menjadi ruang untuk mengakrabkan antarsaudara. Lebih-lebih bagi generasi anak, yang lahir dan tumbuh di daerah lain.
Bukan mustahil mereka tak mengenal saudaranya. Sebab, memang tak pernah atau jarang ada perjumpaan. Lazimnya perjumpaan memang pada momen tertentu.
Barangkali mereka mengetahui bahwa memiliki saudara di luar daerah, ya. Karena, boleh jadi orangtua pernah menceritakannya. Tetapi, mengenal lebih dekat, mungkin belum. Apalagi akrab, jauh dari panggang.
Itu sebabnya, libur Nataru --sekali lagi, seperti saat ini-- dijadikan momen yang sungguh berguna untuk membangun keakraban antarsaudara oleh sebagian masyarakat.
Anak-anak yang semula belum akrab berubah menjadi akrab. Mereka akhirnya mengenal satu dengan yang lain. Yaitu, mengenal saudaranya.
Melalui berkumpul bersama di rumah leluhur atau saudara dalam aktivitas bersama, misalnya, memasak bersama, makan bersama, membersihkan rumah dan sekitarnya bersama, dan bercengkerama bersama menjadi sarana yang semakin mengakrabkan.
Apalagi jika yang generasi sepuh (kakek atau nenek) masih ada. Tentu akan membuat suasana semakin seru dengan berbagi cerita.
Karena, cerita-cerita yang disampaikan --umumnya seperti ini yang dilakukan oleh generasi sepuh-- merupakan sebuah sejarah. Yang, terutama bagi anak-anak, patut diketahuinya dan disukainya.
Sudah pasti hal yang seperti ini akan semakin mengakrabkan relasi mereka. Karena, disadari atau tak disadari, sejarah keluarga besar yang diketahui melalui cerita termaksud membangun imaji yang kuat di antara mereka.
Jadi, dengan demikian, mereka bukan hanya akrab sebatas dalam ranah fisik dan sosial, melainkan akrab juga dalam ranah psikis dan pengetahuan. Sebab, sejarah yang didapatnya memperkaya psikologi dan pengetahuan mereka.