Aktivitas pembelajaran siswa di sekolah membutuhkan sarana prasarana (selanjutnya disebut sarpras). Sarpras yang ada di sekolah sangat penting bagi siswa.
Karenanya, penyelenggara pendidikan menyediakan sarpras termaksud. Penyediaannya di sekolah negeri dilakukan oleh pemerintah. Sementara itu, penyediaannya di sekolah swasta dilakukan oleh yayasan.
Upaya pengadaan sarpras di sekolah dilakukan karena untuk memenuhi kebutuhan belajar bagi siswa. Tentu juga untuk memenuhi kebutuhan kerja bagi guru dan karyawan.
Pengadaannya sangat mungkin tak dapat serentak. Umumnya, dipenuhi secara berkala. Sebab, pengadaannya membutuhkan anggaran yang tak sedikit.
Tetapi, mungkin saja ada yang pengadaannya serentak karena memang kebutuhannya bersifat serentak. Selain itu, karena tentu saja ada anggaran yang mencukupi.
Baik terkait dengan sarpras yang diadakan secara berkala maupun serentak, tetaplah peruntukannya demi keberlangsungan proses pembelajaran lancar dan, terutama, berdampak positif terhadap siswa.
Sebab, sejatinya, penyediaan sarpras pendidikan adalah untuk belajar bagi siswa. Sekalipun memang ada yang untuk guru dan karyawan. Tetapi, mayoritas untuk kepentingan tumbuh kembang siswa.
Karenanya, dalam perawatan dan penjagaannya perlu melibatkan sikap siswa. Tak cukup hanya dikerjakan oleh pekerja di sekolah. Sebab, hal ini kurang memberi edukasi terhadap siswa.
Sekali lagi, siswa harus terlibat. Sekalipun seperti ini, bukan berarti bahwa kemudian meniadakan pekerja di sekolah. Tak demikian maksudnya.
Sebab, siswa pergi ke sekolah bertujuan untuk belajar. Tugasnya ya belajar. Tak ada yang lain. Tetapi, belajar tak dibatasi hanya belajar mata pelajaran (mapel). Belajar dapat melalui apa saja. Termasuk, misalnya, melalui keterlibatannya dalam merawat dan menjaga sarpras sekolah.
Merawat dan menjaga sarpras sekolah bagi siswa dipandang dapat meningkatkan soft skill mereka. Yang, akhir-akhir ini menjadi perbincangan, karena di kalangan generasi muda, khususnya di generasi Z, sebagai sebuah problem yang harus dicarikan solusinya.
Generasi muda, oleh sebagian besar orang, dikatakan kurang memiliki kemampuan soft skill. Padahal, kemampuan soft skill merupakan kemampuan yang sangat dibutuhkan di dalam kehidupan sehari-hari.
Kemampuan soft skill bolehlah disebut sebagai kemampuan seseorang dalam berefleksi diri, bersosialisasi, berkomunikasi, bertoleransi, berempati, berkolaborasi, dan aktivitas lain yang menempatkan emosi dan psikologi sebagai pusat energinya.
Sehingga, seperti sudah disebut di atas, merawat dan menjaga sarpras sekolah yang diyakini dapat meningkatkan kemampuan soft skill siswa perlu mendapat perhatian secara khusus. Karenanya, keterlibatan siswa dalam hal termaksud tak ala kadarnya. Keterlibatan mereka harus secara utuh, baik secara jiwa maupun raga.
Kalau selama ini, guru sudah membersamai siswa melaksanakan aktivitas di sekolah selain dalam proses pembelajaran intrakurikuler, misalnya, kerja bakti di lingkungan sekolah, piket kelas, piket koperasi sekolah, piket S5 (senyum, salam, sapa, sopan, dan santun), dan piket memilah sampah ini artinya sudah ada pintu masuk meningkatkan soft skill mereka.
Sebab, sejatinya, semua aktivitas yang disebut di atas adalah upaya memberi ruang bagi siswa merawat dan menjaga sarpras sekolah. Hanya, memang, aktivitas ini harus dimulai dari menanamkan sikap positif siswa terhadap sarpras yang ada di sekolah.
Siswa diajak menghayati bahwa sarpras yang ada di sekolah adalah milik bersama. Milik warga sekolah. Milik guru. Milik karyawan. Milik siswa. Bahkan (dapat dipahami juga) milik orangtua/wali murid.
Memang tak mudah menanamkan rasa memiliki sarpras yang ada di sekolah dalam diri siswa. Tetapi, sesulit apa pun, guru tetap harus berupaya menanamkannya dalam pikiran dan benak siswa.
Setiap guru pasti memiliki strategi dan gaya masing-masing dalam menanamkan sikap siswa merasa memiliki sarpras yang ada di sekolah. Terhadap satu siswa dan siswa yang lain dapat berbeda. Sebab, latar belakang siswa berbeda.
Di sinilah diperlukan kesabaran guru dalam membersamai siswa. Terhadap satu siswa, guru mungkin cukup sekali memberi contoh dan meminta siswa untuk melakukannya, yang selanjutnya secara sadar siswa melakukannya sendiri.
Tetapi, terhadap siswa yang lain barangkali guru harus beberapa kali, atau bahkan berulang-ulang memberi contoh dan mengajaknya bersama untuk melakukannya. Sampai kemudian siswa memiliki kesadaran untuk melakukannya sendiri.
Sampai kapan? Entah belum dapat diketahui. Tetapi, guru yang memiliki kesetiaan mengingatkan dan membersamai, artinya tak meminta siswa melakukannya sendiri, bukan mustahil dalam diri siswa akan tumbuh spirit kesadaran sekalipun lambat laun.
Sudah banyak mantan guru yang menceritakan bahwa guru yang seperti ini, bagi siswa justru menjadi kenangan manis yang tak terlupakan. Mantan siswa selalu mengingatnya. Dan, ini salah satu bukti bahwa guru telah berhasil membawa siswanya memetik kemampuan soft skill di dalam kehidupannya.
Orangtua pun perlu terlibat dalam menanamkan sikap positif termaksud. Seperti yang sudah pasti dilakukan oleh orangtua di rumah. Yaitu, menghayatkan terhadap anak bahwa semua sarpras yang ada di rumah adalah milik semua anggota keluarga.
Sekalipun memang ada hal khusus yang merasa bahwa hal termaksud hanya miliknya. Tetapi, saya yakin, orangtua mengajarkan bahwa hal termaksud juga milik anggota yang lain dalam keluarga. Karena, bukankah semua anggota keluarga memiliki kesamaan kewajiban untuk menjaga dan merawatnya?
Tentu sangat membantu guru (baca: sekolah) jika orangtua pun, seperti sudah disebut di atas, memiliki kehendak memahamkan terhadap anak bahwa semua sarpras yang ada di sekolah tempat anak belajar adalah juga milik anak.
Dengan begitu, anak semakin mendapat peneguhan bahwa sarpras yang ada di sekolah memang miliknya bersama dengan warga sekolah lainnya. Selanjutnya, diharapkan rasa memilikinya semakin mendalam.
Umumnya rasa memiliki yang semakin mendalam, mendorong orang untuk melakukan yang terbaik atas hal yang dimiliki. Dalam konteks tertentu, dapat saja orang menjaga secara matian-matian hal yang dimiliki tatkala ada pihak lain yang mengganggu.
Semua aktivitas di sekolah di luar pembelajaran intrakurikuler, seperti yang sudah disebut di atas, sejatinya mengajarkan tentang kebersamaan, kepercayaan diri, ketelitian, kesopanan, keramahan, kepedulian, kerja keras, pantang menyerah, kedisiplinan, tanggung jawab, saling menghargai, dan nilai-nilai positif lainnya.
Karenanya, semua aktivitas termaksud tak dapat dilepas begitu saja kepada siswa oleh guru. Guru harus mengawal, meneladani, dan membersamai siswa dalam melaksanakan aktivitas ini. Agar, guru dapat mengarahkan siswa yang kurang relevan saat melaksanakannya.
Hanya, bagian yang menjadi perhatian (penting) guru adalah proses dalam aktivitas. Sebab, di dalam proses ini terkandung semua nilai positif. Karenanya, orientasi hasil perlu dihindari; sebaliknya orientasi proses yang perlu ditekankan.
Taruhlah, misalnya, siswa melaksanakan piket kelas. Di dalamnya ada beberapa siswa. Saat siswa melaksanakannya, nilai positif yang ada, di antaranya ketelitian, kerja sama, peduli, menghargai, bertanggung jawab, dan semangat adalah yang relevan ditanamkan kedalam diri siswa.
Sayang jika nilai-nilai positif seperti ini tak terhayati oleh siswa. Sebab, nilai-nilai inilah yang sejatinya pembelajaran soft skill bagi mereka.
Itu sebabnya, siswa yang melaksanakan piket kelas tak sekadar membersihkan dan menata ruang kelas untuk aktivitas pembelajaran. Tetapi, proses ini harus diikuti oleh siswa yang bertugas piket sebagai sebuah pembelajaran yang tak jauh berbeda dengan pembelajaran intrakurikuler.
Selain melaksanakan tugas piket, siswa masih memiliki banyak ruang pembelajaran soft skill yang lain di sekolah, seperti yang sudah disebut di atas. Termasuk juga, menghargai yang telah dikerjakan oleh tukang kebun dan karyawan kebersihan sekolah bagian dari merawat dan menjaga sarpras di sekolah. Ini pun ruang belajar soft skill mereka.
Jika semuanya ini dilakukan dengan sepenuh hati dan jiwa, tentu dalam pembersamaan guru (dan orangtua), niscaya akan terlahir generasi muda yang arif dalam memasuki zamannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H