Jika kita menanyakan kepada siswa tentang hal termaksud, yaitu tentang Gus Miftah mundur dari jabatannya, sudah pasti mereka menjawab mengetahuinya atau melihatnya.
Dalam konteks ini memang belum semua anak atau siswa mampu memahaminya. Apa sih yang dapat dipetik dari Gus Miftah mundur dari jabatannya sebagai Utusan Khusus Presiden?
Saya pikir guru tak tabu membantu siswa untuk memahaminya. Sebab, ada hal baik yang dapat dipelajari. Yaitu, sangat mungkin mendorong siswa untuk memiliki integritas.
Sebab, Gus Miftah mundur bolehlah dipahami tak hanya sebatas bertanggung jawab atas tutur dan perilakunya yang lepas dari etika sosial. Tetapi, juga semacam pertobatan. Hal ini justru yang penting dipahami oleh siswa.
Sebab, bukan mustahil cara ini dapat mendorong siswa untuk lebih berhati-hati dalam bertutur atau berperilaku. Namun, lebih daripada itu mereka yang sudah bertutur dan berperilaku lepas dari etika, misalnya, mau melakukan pertobatan. Ini pendidikan karakter.
Pendidikan karakter seperti ini akan berefek secara masif jika banyak teladan yang muncul. Tak hanya dari publik figur, tetapi juga dari orang-orang (dewasa) yang keberadaannya tak terpisahkan dari anak-anak, yang notabene siswa.
Maksudnya, tatkala mereka bertutur dan berbuat salah, lebih-lebih yang berdampak buruk terhadap banyak orang, sudah seharusnya berkemauan kuat untuk refleksi diri. Lalu, bertobat.
Tentu, jika ia adalah publik figur, apalagi kalau pejabat publik, wujudnya adalah mengambil sikap seperti yang dilakukan oleh Gus Miftah. Sebab, langkah ini tak hanya sebagai risiko yang harus ditanggung, tetapi, sekali lagi, juga memberi edukasi kepada publik, termasuk kepada anak-anak yang membutuhkan pendidikan seutuhnya.
Dan, inilah sebetulnya yang menunjukkan bahwa pendidikan menjadi tanggung jawab bersama, yaitu antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dengan begitu, terciptalah sebuah keseimbangan keberlangsungan pendidikan.
Sebab, tak akan memiliki efek bermakna, bahkan akan kontraproduktif, jika satu saja dari tiga pilar pendidikan tersebut ada yang tak sejalan. Misalnya, dua pilar sudah menghayatkan sikap integritas secara intens kepada generasi muda, tetapi satu pilar acuh tak acuh mengenai hal ini, sudah pasti keberlangsungan pendidikan tak seimbang.
Sehingga, yang kemudian terjadi adalah proses pendidikan tak akan memberikan hasil yang optimal. Bahkan, bukan mustahil justru akan memperpuruk didikan. Ini yang harus kita jauhi bersama. Bagaimana?