Tak perlu dihitung berapa kali kurikulum berubah untuk pendidikan di negara kita. Sudah banyak. Dan, sebanyak ini pula, guru tetap menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang diembannya. Setia melayani siswa.
Berdasarkan pengalaman, adanya perubahan atau pergantian kurikulum tak mengurangi kesetiaan guru menjalankan perannya, mengabdi bagi negeri, mendampingi siswa membangun diri.
Kalau, misalnya, ada perbincangan di kalangan guru tentang perubahan atau pergantian kurikulum termaksud adalah sebagai hal yang wajar saja. Tak sampai meresahkan dan menggelisahkan guru.
Apalagi hingga mengganggu guru dalam menjalankan perannya. Tak pernah ada catatan mengenai hal ini. Guru sudah sedemikian fokus.
Saat sudah berada di antara siswa, guru tak lagi memikirkan kurikulum. Tetapi, memikirkan kebutuhan siswa. Yang, selanjutnya membersamainya dalam pembelajaran. Sehingga, kebutuhan siswa terpenuhi.
Sekalipun tak mungkin guru memenuhi kebutuhan siswa. Sebab, guru memiliki keterbatasan. Dan, keterbatasan ini, salah satunya ditandai dengan pemerintah menyediakan kurikulum.
Kurikulum memedomani guru dalam menjalankan perannya sebagai pendidik dan pengajar. Membawa siswa menuju ke arah satu visi.
Tetapi, kurikulum yang menjadi acuan guru dalam mengajar pun, ternyata, memiliki keterbatasan. Buktinya, selalu ada perubahan atau pergantian kurikulum yang selalu diklaim mengikuti perkembangan zamannya.
Bahkan, belum sepenuhnya guru menguasai kurikulum yang diberlakukan, dapat saja tetiba diubah atau diganti.
Atau, dalam bahasa yang berbeda, baru saja guru mulai menemukan sedikit "enaknya" kurikulum yang diberlakukan, tiba-tiba saja diubah atau diganti.
Karenanya, ungkapan ganti menteri, ganti kurikulum, yang sudah familier terdengar di telinga kita, menandai bahwa gonta-ganti kurikulum sudah menjadi fenomena yang biasa di dunia pendidikan kita.
Efek biasa terjadi perubahan atau pergantian kurikulum di dunia pendidikan menjadikan guru atau tenaga pendidik merasa kebal. Tak kaget jika ada perubahan kurikulum. Tak khawatir kalau ada pergantian kurikulum.
Perubahan atau pergantian kurikulum dipandang sebagai hal yang biasa saja, hal yang lumrah. Guru selalu siap sedia menyambutnya. Juga tetap semangat membersamai siswa belajar, seolah tak terganggu oleh adanya kurikulum yang berbeda.
Karena, ada perubahan/pergantian kurikulum atau tidak, sebenarnya esensi mengajar dan mendidik bagi seorang guru untuk siswanya sudah dilakukan.
Sejak dahulu, ketika ada konsep cara belajar siswa aktif (CBSA) hingga sekarang dengan munculnya pembelajaran berpusat pada siswa, guru sudah mempraktikkannya.
Sebab yang dihadapi dan dibersamai itu siswa, maka sejak dahulu hingga sekarang yang dilakukan oleh guru memang untuk siswa. Tak untuk yang lain. Semua dipusatkan terhadap kebutuhan siswa.
Maka, guru sangat menghargai semua kurikulum. Baik kurikulum yang sudah diberlakukan, sedang diberlakukan, maupun baru direncanakan demi keberlangsungan pendidikan (yang bermakna).
Sebab, semua kurikulum tak ada yang buruk. Semua kurikulum baik bagi siswa pada masanya. Penghayatan ini yang mendasari guru selalu tak banyak terusik saat menghadapi perubahan atau pergantian kurikulum.
Apalagi guru-guru yang sudah relatif lama mengabdikan diri untuk negeri melayani siswa. Yang, bukan mustahil mengalami berkali-kali perubahan atau pergantian kurikulum pada sepanjang waktu mereka mengabdi.
Guru sebagai pihak yang mengimplementasikan kurikulum di tengah-tengah siswa memang tak mudah. Sebab, guru harus menerjemahkan konsep-konsep yang ada dalam kurikulum ke praktik pembelajaran. Yang, sangat mungkin (bisa saja) berbeda dengan yang dimaksudkan oleh pembuat kurikulum.
Adanya pelatihan terkait dengan kurikulum yang harus diikuti oleh guru merupakan salah satu cara membantu guru memahami kurikulum. Toh demikian, pemahaman yang diperoleh guru belum tuntas. Masih banyak hal dalam kurikulum yang harus dipelajari.
Itu sebabnya, di sela-sela membersamai siswa dalam pembelajaran, guru tetap mempelajari dan mendiskusikan bersama dengan guru lain mengenai kurikulum yang diberlakukan. Ikhtiar ini lebih banyak dilakukan secara informal ketimbang formal.
Sehingga, sering ikhtiar ini tak tampak. Tetapi, ini cara yang dilakukan oleh guru dalam menghargai kurikulum. Cara ini dilakukan oleh guru sejak dahulu, sebab, seperti sudah disebut di atas, mengimplementasikan kurikulum dalam pembelajaran tak mudah.
Sebagai contoh, Kurikulum Merdeka yang sejak 2021 sudah diimplementasikan secara terbatas, pada 2023 baru mencapai hampir 70 persen sekolah yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Itu pun melalui Program Sekolah Penggerak, SMK Pusat Keunggulan, dan Implementasi Kurikulum Merdeka Jalur Mandiri.
Artinya, untuk implementasi sebuah kurikulum hingga mencapai 100 persen sekolah sasaran, yang dalam konteks ini semua sekolah yang ada di wilayah Indonesia, ternyata tak cukup hanya waktu sepanjang satu periode pemerintahan.
Dari data di atas, dapat diduga bahwa hingga habis periode pemerintahan yang membidani Kurikulum Merdeka, masih ada guru yang belum mengimplementasikan kurikulum termaksud.
Bahkan, jangan-jangan dalam keadaan seperti ini, masih ada sekolah yang belum mengimplementasikan Kurikulum Merdeka. Sebab, pada Maret 2024, Anindito Aditomo, selaku Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek, menyebutkan bahwa masih ada 27 persen sekolah yang belum mengimplementasikan (Kompas.id).
Kalaupun sudah mengimplementasikannya, dapat dipastikan belum menyentuh esensinya. Karena, guru (baca: sekolah) yang sudah mengimplementasikan lebih dahulu saja masih harus belajar. Karena, dirasa belum dapat memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa berdasarkan kurikulum termaksud.
Tentu saja yang dimaksudkan adalah, baik guru yang mengajar di sekolah negeri maupun swasta. Sebab, sekolah swasta pun memberlakukan kurikulum yang diberlakukan di sekolah negeri. Dan, memang demikian peraturan atau perundangan yang berlaku mewajibkannya.
Ini semakin menegaskan bahwa semua guru, baik yang mengajar di sekolah negeri maupun swasta, menghargai setiap kurikulum yang diberlakukan dalam mengelola pendidikan untuk masyarakat.
Serumit atau sesederhana apa pun kurikulum yang diberlakukan, guru terus belajar agar pesan-pesan yang ada dalam kurikulum dapat dipraktikkan dalam proses pembelajaran.
Ini pun sikap guru menghargai kurikulum, yang tak pernah pudar sepanjang masa sekalipun dalam sepanjang masa ini pula kurikulum silih berganti.
Sebab, sejatinya, yang dipandang guru bukan kurikulumnya. Tetapi, siswa yang membutuhkan pendampingan untuk meraih masa depannya. Intinya, apa pun kurikulumnya, guru berusaha mengimplementasikan demi tumbuh kembang siswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H