Tak ada habisnya membicarakan anak yang memiliki masalah. Tetapi, justru anak yang masih sekolah, karena problemnya, orangtua dan guru dapat bertemu. Dan, realitas seperti ini hampir pasti dihadapi oleh semua sekolah.
Hanya, memang, sekolah satu dengan yang lain memiliki kuantitas yang berbeda. Artinya, ada sekolah yang memiliki banyak siswa bermasalah. Tetapi, ada sekolah yang memiliki sedikit siswa yang mempunyai problem.
Terkait problem yang dialami siswa, rerata sama di satu sekolah dengan sekolah yang lain. Problem tersebut di antaranya adalah anak membolos sekolah, tak mengerjakan tugas atau pekerjaan rumah (PR), dan tak menaati tata tertib sekolah.
Tak menaati tata tertib sekolah, banyak macamnya. Misalnya, melakukan perundungan, merokok, menyemir rambut, memotong rambut dalam model yang tak seharusnya, dan baju tak dilengkapi atribut.
Hanya, dalam hal ini, ukuran pelanggaran tata tertib satu sekolah dengan sekolah yang lain dapat saja berbeda. Misalnya, perihal rambut. Ada sekolah yang membolehkan rambut siswa disemir, tapi ada juga sekolah yang tak membolehkan rambut siswa disemir.
Ada sekolah yang mengizinkan rambut siswa laki-laki sampai menutup kerah baju. Tetapi, ada juga sekolah yang tak mengizinkannya, sehingga jika rambut siswa laki-laki sampai menutupi, atau menyentuh kerah baju saja, sudah tergolong pelanggaran tata tertib sekolah. Ini termasuk yang diterapkan di sekolah tempat saya mengajar.
Ya, satu sekolah dengan sekolah yang lain, dalam hal ini dapat berbeda. Tetapi, perihal siswa bermasalah adalah hal yang sama. Artinya, mereka memiliki keberadaan yang sama karena sama-sama melakukan pelanggaran terhadap tata tertib sekolah.
Dalam pandangan yang positif, anak yang sedang menghadapi persoalan justru, seperti sudah disebut di atas, dapat mempertemukan antara orangtua dan guru. Realitas seperti ini yang lebih sering dijumpai di sekolah. Maksudnya, orangtua dan guru membangun pertemuan karena anak memiliki masalah.
Ini dapat diartikan bahwa orangtua dan guru tak membangun pertemuan karena anaknya (bagi orangtua) dan anak didiknya (bagi guru) tak bermasalah. Karena, peran guru akan lebih dirasakan kalau fokus mengajar dan mendidik siswanya ketimbang mengundang orangtua yang anaknya tak bermasalah.
Sekalipun memang ada sesekali guru (baca: sekolah) mengundang orangtua siswa meskipun siswa tak bermasalah. Misalnya, saat sekolah membutuhkan dukungan orangtua karena sekolah akan mengadakan acara, juga ketika sekolah mengadakan penerimaan rapor.
Tetapi, dalam semua ini tak berarti guru lebih menyukai anak memiliki masalah agar selalu dapat bertemu dengan orangtua anak. Tentu tak demikian. Malah sebaliknya, guru lebih menyukai anak didiknya tak bermasalah.
Sebab, keadaan ini memberi ruang bagi guru dapat secara optimal membersamai anak didiknya dalam belajar tanpa ada waktu yang tersita untuk hal-hal yang dapat menghambat pembelajaran. Bukankah saat bertemu dengan orangtua anak yang bermasalah guru meninggalkan kelas?
Dapat saja memang pertemuan ini dilakukan pada saat guru tak mengajar. Sehingga, tak mengganggu pembelajaran. Tetapi, yang seperti ini tak selalu dapat dilakukan. Apalagi pertemuan ini harus berefek sehingga sering membutuhkan waktu yang relatif lama.
Maka, yang kemudian terjadi adalah pertemuan ini sangat dihargai oleh kedua belah pihak, guru dan orangtua. Alasannya hanya satu, yaitu untuk menyediakan ruang bagi anak. Agar, pendidikan yang diikutinya dapat mengantarnya ke proses dan hasil pembelajaran yang optimal.
Upaya ini dapat bermula dari pihak guru (baca: sekolah). Karena, sekolah menyadari memiliki keterbatasan dalam mengurai sendiri problem siswa. Sekolah akhirnya mengundang orangtua. Tentu dengan maksud orangtua diajak bersama mengurai dan mencari solusi untuk problem anaknya.
Pun sebaliknya, ikhtiar baik ini dapat juga bermula dari orangtua. Ketika orangtua sudah kesulitan mencari jalan keluar problem anaknya, umumnya datang ke sekolah. Bertemu dengan guru atau kepala sekolah. Lalu, semua beban diceritakannya dengan harapan sekolah dapat membantu menyelesaikan problem tersebut.
Kalau orangtua proaktif seperti ini, sangatlah positif. Sebab, sekolah tak akan mengalami kesulitan menelusuri penyebab problem siswa. Bahkan, ketika orangtua menceritakan apa adanya mengenai anaknya akan memudahkan sekolah membimbing dan membina anak termaksud.
Sekolah tak dapat memberi tindakan yang tepat terhadap siswa jika sekolah tak memiliki informasi yang lengkap. Sekolah hanya mungkin memiliki "catatan" lengkap dan penting ketika orangtua berkenan berbagi "catatan" tersebut kepada sekolah.
Mengingat, sekolah sangat terbatas mengikuti secara utuh dinamika siswa. Hanya sebagian kecil waktu siswa bersama guru, yaitu selama ia berada di sekolah.
Sebagian besar waktu siswa berada di lingkungan keluarga. Maka, dapat dipastikan keluarga (baca: orangtua) memiliki banyak "catatan" mengenai anak.
Apalagi, sekolah memang bukan tempat menyelesaikan secara sempurna problem siswa. Justru karena sekolah merasa memiliki kekurangan itulah, sekolah membutuhkan peran serta orangtua. Tanpa peran serta orangtua, tak mungkin sekolah dapat mendidik dan membimbing siswa.
Oleh karena itu, rasanya kurang tepat kalau misalnya ada sebagian orangtua berpandangan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab penuh sekolah. Karena, pendidikan dan pembimbingan anak sudah diserahkan ke sekolah oleh orangtua.
Lebih celaka (lagi) kalau ada orangtua berpikir bahwa manfaat orangtua membayar mahal kepada sekolah memang untuk menyerahkan seutuhnya pendidikan dan pembimbingan anak kepada sekolah.
Hal ini dilakukan tentu saja agar orangtua bisa lebih dapat fokus terhadap aktivitasnya. Tak perlu diganggu oleh persoalan anak. Anak sudah menjadi bagian penting tanggung jawab sekolah.
Gambaran seperti ini sangat mungkin ada dan terjadi. Yaitu, umumnya, di sekolah swasta. Sebab, sejak di pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga sekolah menengah atas (SMA)/sekolah menengah kejuruan (SMK) dan yang sederajat di swasta tak ada yang gratis. Semua membayar.
Karena, perlu biaya untuk operasional, gaji guru, dan karyawan. Sekolah swasta tak akan dapat melakukannya jika tak ada dukungan dana dari orangtua.
Berbeda dengan di sekolah negeri, yang nyaris orangtua tak mengeluarkan biaya pendidikan. Mulai dari tingkat PAUD sampai dengan SMA/SMK dan yang sederajat, orangtua tak keluar dana. Karena, semua biaya pendidikan, operasional, gaji guru, dan karyawan ditanggung oleh pemerintah.
Namun, tak berarti guru dan karyawan di sekolah negeri boleh seenaknya melayani anak-anak. Tentu tak seperti ini. Guru dan karyawan di sekolah negeri justru harus lebih baik dalam mendampingi anak. Sebab, tak perlu khawatir mengenai kewajiban pemerintah terhadap tugas yang mereka kerjakan.
Perihal guru memberi perhatian terhadap siswa bermasalah, baik di sekolah negeri maupun swasta, sama saja. Yang dilakukan, seperti sudah disebut di atas, adalah melalui pertemuan guru dan orangtua.
Dalam pertemuan ini tak perlu mencari kesalahan yang kemudian mengakibatkan anak bermasalah. Tak penting menelisik bagian ini. Sebab, akan buang-buang energi saja.
Tetapi, keterbukaan kedua belah pihak dalam berbagi informasi mengenai keberadaan anak, ini bagian yang sangat penting. Tanpa ada pihak yang berusaha menutupi untuk mengarah ke posisi "menang" sendiri.
Dalam konteks ini, yang harus dibangun adalah posisi setara. Posisi yang sama-sama memiliki motivasi yang mengarah terhadap tumbuh kembang anak. Agar anak mendapatkan pendampingan dan pembersamaan selama mengenyam pendidikan.
Karenanya, keberadaan siswa termaksud di sekolah seperti apa pun, misalnya, harus diinformasikan kepada orangtua. Guru tak menutup-nutupi bagian tertentu. Sehingga, orangtua mendapat informasi yang utuh perihal anaknya di sekolah.
Tentu, baik yang positif maupun yang negatif, semua dibagikan kepada orangtua. Sebab, orang, termasuk siswa seburuk apa pun, dapat dipastikan masih memiliki sisi-sisi yang positif. Dan, sisi-sisi yang positif ini yang patut dijadikan sarana sebagai dasar memotivasi siswa.
Pun demikian orangtua perlu berbagi informasi utuh tentang keberadaan anaknya di rumah kepada guru. Sama persis seperti yang diinformasikan oleh guru, tak ada bagian yang ditutup-tutupi. Baik maupun buruk, semua dibagikan kepada guru.
Sehingga, guru akhirnya mendapat informasi utuh dan lengkap tentang keberadaan anak di rumah. Bahkan, sangat penting informasi mengenai keberadaan anak relasinya dengan teman-teman sepergaulan di lingkungan tempat tinggalnya.
Mengenai ini memang hanya orangtua yang mengetahui. Sebab, pergaulan anak lebih sering terbangun saat anak di rumah. Akan sangat positif jika orangtua juga berbagi mengenai ini. Sebab, bukan mustahil anak yang bermasalah disebabkan juga oleh faktor ini.
Intinya, pertemuan dalam ikhtiar membangun komunikasi guru dan orangtua adalah demi anak. Bukan demi guru atau orangtua. Juga bukan demi sekolah.Â
Dengan begitu, pertemuan yang dilakukan tak sia-sia. Tetapi, sungguh memberi efek yang berarti. Yaitu, anak mengalami proses pembelajaran yang mengarah ke capaian hidup yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H