Tetapi, dalam semua ini tak berarti guru lebih menyukai anak memiliki masalah agar selalu dapat bertemu dengan orangtua anak. Tentu tak demikian. Malah sebaliknya, guru lebih menyukai anak didiknya tak bermasalah.
Sebab, keadaan ini memberi ruang bagi guru dapat secara optimal membersamai anak didiknya dalam belajar tanpa ada waktu yang tersita untuk hal-hal yang dapat menghambat pembelajaran. Bukankah saat bertemu dengan orangtua anak yang bermasalah guru meninggalkan kelas?
Dapat saja memang pertemuan ini dilakukan pada saat guru tak mengajar. Sehingga, tak mengganggu pembelajaran. Tetapi, yang seperti ini tak selalu dapat dilakukan. Apalagi pertemuan ini harus berefek sehingga sering membutuhkan waktu yang relatif lama.
Maka, yang kemudian terjadi adalah pertemuan ini sangat dihargai oleh kedua belah pihak, guru dan orangtua. Alasannya hanya satu, yaitu untuk menyediakan ruang bagi anak. Agar, pendidikan yang diikutinya dapat mengantarnya ke proses dan hasil pembelajaran yang optimal.
Upaya ini dapat bermula dari pihak guru (baca: sekolah). Karena, sekolah menyadari memiliki keterbatasan dalam mengurai sendiri problem siswa. Sekolah akhirnya mengundang orangtua. Tentu dengan maksud orangtua diajak bersama mengurai dan mencari solusi untuk problem anaknya.
Pun sebaliknya, ikhtiar baik ini dapat juga bermula dari orangtua. Ketika orangtua sudah kesulitan mencari jalan keluar problem anaknya, umumnya datang ke sekolah. Bertemu dengan guru atau kepala sekolah. Lalu, semua beban diceritakannya dengan harapan sekolah dapat membantu menyelesaikan problem tersebut.
Kalau orangtua proaktif seperti ini, sangatlah positif. Sebab, sekolah tak akan mengalami kesulitan menelusuri penyebab problem siswa. Bahkan, ketika orangtua menceritakan apa adanya mengenai anaknya akan memudahkan sekolah membimbing dan membina anak termaksud.
Sekolah tak dapat memberi tindakan yang tepat terhadap siswa jika sekolah tak memiliki informasi yang lengkap. Sekolah hanya mungkin memiliki "catatan" lengkap dan penting ketika orangtua berkenan berbagi "catatan" tersebut kepada sekolah.
Mengingat, sekolah sangat terbatas mengikuti secara utuh dinamika siswa. Hanya sebagian kecil waktu siswa bersama guru, yaitu selama ia berada di sekolah.
Sebagian besar waktu siswa berada di lingkungan keluarga. Maka, dapat dipastikan keluarga (baca: orangtua) memiliki banyak "catatan" mengenai anak.
Apalagi, sekolah memang bukan tempat menyelesaikan secara sempurna problem siswa. Justru karena sekolah merasa memiliki kekurangan itulah, sekolah membutuhkan peran serta orangtua. Tanpa peran serta orangtua, tak mungkin sekolah dapat mendidik dan membimbing siswa.