Pada bulan-bulan akhir 2024 di daerah tempat tinggal saya bersama keluarga sedang dilangsungkan festival teater pelajar (FTP) 2024. FTP ini, seperti FTP pada tahun-tahun sebelumnya diinisiasi oleh salah satu perusahaan besar di daerah kami, yang care terhadap seni, budaya, dan pendidikan .
FTP diikuti oleh pelajar SMP dan yang sederajat, juga pelajar SMA/SMK dan yang sederajat, baik negeri maupun swasta. Untuk kategorial SMP dan yang sederajat dibedakan dengan kategorial SMA/SMK dan yang sederajat.
Pembedaan kategorial ini tak berarti merendahkan yang satu dan meninggikan yang lain. Kedua kategorial ini tetap memiliki hak yang sama untuk dapat menumbuhkembangkan potensi diri.
Sebab, festival, dalam bidang apa pun, selalu memiliki maksud sebagai ajang mengekspresikan potensi. Jadi, dalam konteks ini, FTP merupakan ajang berekspresi seni bagi kedua kategorial, baik pelajar SMP dan yang sederajat, maupun pelajar SMA/SMK dan yang sederajat yang ada di daerah kami.
Karenanya, sekolah tempat saya mengabdi merespon secara positif adanya kegiatan FTP ini. Artinya, sekolah kami mengikuti festival ini. Dan, beberapa sekolah lain yang sejenjang dengan sekolah kami juga mengikuti.
Umumnya, seperti yang dilakukan di sekolah kami, yang mewakili adalah anak-anak yang mengikuti ekstrakurikuler teater. Di sekolah kami, mungkin juga di sekolah lain yang mengikuti festival ini, diadakan ekstrakurikuler teater. Jadi, anak-anak yang bergabung di ekstrakurikuler teater yang menjadi duta dalam FTP.
Teater Jasmine, nama teater yang ada di sekolah kami, sudah pentas dalam babak penyisihan. Tepatnya, pada 28 Oktober 2024, di salah satu ruang di sekolah yang ditata menjadi panggung pertunjukan. Memang tak representatif ruangan termaksud, tapi ini yang ada. Jadi, tak masalah. Acara berlangsung baik.
Sesuai jadwal pertunjukan yang saya ketahui lewat flyer, pada hari yang sama dalam waktu yang berbeda ada tiga sekolah yang mementaskan pertunjukan. Sekolah kami mendapat jadwal pentas jam pertama, yaitu dimulai pukul 09.00 WIB. Durasi pentas maksimal 45 menit. Di kedua sekolah yang lain pentas pada jam berikutnya secara berurutan.
Karena pentasnya di sekolah masing-masing, maka ada jeda waktu antara pentas jam pertama, kedua, dan ketiga. Sebab, juri tentu membutuhkan waktu untuk dapat sampai di lokasi sekolah yang berbeda. Artinya, perjalanan dari satu sekolah ke sekolah berikutnya membutuhkan waktu.
Saya melihat pertunjukan Teater Jasmine dari awal hingga akhir. Bersama beberapa guru dan siswa. Tak banyak yang dapat melihat pertunjukan ini. Karena, keterbatasan ruang pentas.
Tapi, justru tak terlalu sesak penonton, setiap mata, pikiran, dan perasaan yang menonton dapat mengikuti pementasan lebih fokus. Termasuk saya, sangat nyaman menikmatinya.
Naskah Max Arifin, "Badai Sepanjang Malam", dipentaskan oleh Teater Jasmine kurang dari durasi waktu maksimal yang ditentukan, yang berarti kurang dari 45 menit. Hanya diperankan oleh dua tokoh, yaitu Jamil dan Saenah.
Jamil, seorang guru yang memiliki spirit besar untuk mengabdi di sebuah sekolah di desa terpencil, didukung penuh oleh Saenah, istrinya. Tapi, dalam perjalanan waktu pengabdiannya, hampir saja Jamil putus asa oleh karena kenyataan yang dihadapinya tak seperti yang dibayangkan.
Untung saja, Saenah, yang dari semula mendukung sikap Jamil, tetap tegar dan bahkan memiliki kekuatan menyadarkan Jamil untuk tetap meneruskan pengabdiannya di tempat ini.
Pentas Teater Jasmine dalam konstruksi cerita happy ending ini mendorong saya untuk mengungkap nilai penting yang tersirat di dalamnya. Sekalipun, saya meyakini bahwa nilai penting tersirat juga di dalam pentas teater pelajar yang lain, kapan dan di mana, juga dalam naskah apa pun.
Sebab, teater pelajar yang berbasis di sekolah tak lepas dari keberadaan siswa, yang sedang mengenyam pendidikan di sekolah termaksud. Siswa di sekolah, secara normatif, sudah semestinya mendapat pengajaran dari guru sesuai dengan bidang keahliannya.
Baik di jenjang SMP dan yang sederajat, maupun SMA/SMK dan yang sederajat, mendapat pengajaran, misalnya, bidang Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan Seni Budaya.
Hampir dapat dipastikan semua bidang yang diajarkan oleh guru mata pelajaran (mapel) berupa pengetahuan sesuai mapel masing-masing. Yang, semuanya ini sudah diatur sesuai dengan tingkat kelas berdasarkan kajian psikologi, fisiologi, sosiologi, dan kajian lain yang terkait dengan tumbuh kembang anak.
Karenanya, tak memenuhi syarat edukasi jika siswa SD diberi pengajaran materi siswa SMP. Pun demikian sebaliknya, jika siswa SMP diberi pengajaran materi siswa SD. Jelas tak masuk dalam ranah pengajaran, apalagi ranah pendidikan. Hal ini jauh dari maksud keduanya.
Mapel seperti yang sudah disebut di atas sebatas membekali siswa dalam keilmuan. Yang, tak langsung mengait ke kehidupan siswa, baik masa kini (saat siswa masih sekolah) maupun masa mendatang.
Karenanya, tak sedikit lulusan yang ketika sudah berada di masyarakat, ilmu yang didapat di sekolah kurang sesuai dengan aktivitas hidupnya. Sekalipun harus diakui bahwa ada juga lulusan yang ketika sudah berada di masyarakat, ilmu yang didapat di sekolah diterapkan untuk menjaga kelangsungan hidupnya.
Dan, dalam teater, nyata bahwa --ini setelah saya melihat pentas Teater Jasmine dalam naskah "Badai Sepanjang Malam"-- siswa diajak untuk menghayati kehidupan yang sebenarnya. Kehidupan di masyarakat.
Bahkan, kehidupan masyarakat yang jauh dari masa yang dialaminya. Yaitu, masa lampau yang dirinya sendiri belum lahir di dunia. Jadi, jelas-jelas ia buta terhadap kehidupan masyarakat termaksud.
Tapi, siswa yang terlibat langsung dalam pentas ini, terutama para pemeran, dibersamai oleh pelatih dan pembina menyelami para tokoh dan masyarakat dalam naskah.
Para tokoh dalam naskah "Badai Sepanjang Malam" yang dipentaskan oleh Teater Jasmine, misalnya, adalah karakter yang usianya jauh lebih tua dari siswa yang memerankan. Yang, juga berada dalam kehidupan masyarakat sekitar tahun 1970-an.
Tapi, siswa yang memerankan harus memasuki karakter ini. Sekalipun masih siswa SMP yang berusia sekitar 14-an tahun, ia harus menghayati tokoh yang berusia 30-an tahun. Juga menghayati masyarakat tempo dulu, seperti sudah disebut di atas, jauh sebelum ia lahir.
Ini tentu bukan tugas yang mudah. Tugas yang membutuhkan kecerdasan beragam, baik kecerdasan kognitif, psikomotorik, maupun afektif, yang di dalamnya memuat kecerdasan emosional, spiritual, personal, dan interpersonal.
Maka, proses latihan sebelum pentas sangat menyita energi, baik fisik maupun psikis, selain waktu. Waktu memang tak dapat dikompromikan sebab siswa memiliki kewajiban belajar. Karenanya, yang terjadi kemudian berbagi waktu secara cermat.
Dan, jelas bahwa siswa yang mendapat bagian ini berusaha dan bekerja keras untuk menghayati perannya. Ia menjadi seperti orang yang jauh lebih dewasa.
Ia menghadapi persoalan hidup yang dialami oleh orang yang jauh lebih dewasa. Ia juga menghadapi problem masyarakat tempo dulu di pelosok desa.
Artinya, siswa yang membawakan karakter ini sudah memasuki kehidupan yang lebih luas, yaitu kehidupan dengan berbagai problem yang dihadapi oleh orang dewasa di tengah-tengah masyarakat.
Dan, harus disadari bahwa siswa yang membawakan karakter ini sudah belajar mengenai kehidupan masa mendatang, yang sangat mungkin kelak dihadapinya di alam nyata. Jadi, membawakan karakter ini seolah menyiapkan diri dalam menghadapi hidup nyata mendatang.
Mungkin tak sama persis persoalan yang ditemui. Tapi, setidaknya persoalan yang dihadapi dalam karakternya memberi kekayaan batin. Yang, harus diakui, tak pernah didapatkan dari mapel yang diajarkan oleh guru sesuai dengan bidang keahliannya di ruang-ruang belajar.
Itu sebabnya, teater, mungkin ada sekolah yang sudah menjadikannya sebagai mapel Seni Budaya, atau mungkin sekadar menjadikannya sebagai ekstrakurikuler, memiliki kekhasan. Yang, sangat berbeda jika dibandingkan dengan mapel yang secara normatif sudah ada di sekolah, seperti yang sudah disebut di atas.
Melalui teater, siswa diajak belajar dan menghayati kehidupan dengan berbagai problem yang bukan mustahil terjadi di dunia nyata. Teater, atau lebih tepatnya naskah teater berisi tiruan realitas kehidupan.
Karenanya, teater di sekolah kiranya boleh disebut sebagai mapel kehidupan. Sebab, teater menyiapkan pikiran dan batin siswa untuk menghadapi kehidupan nyata yang sudah, sedang, atau akan terjadi.
Teater, dengan demikian, mempraktikkan hidup yang sesungguhnya. Yang, di sekolah, siswa mempraktikkannya. Sehingga, sangat mungkin siswa yang terlibat di dalamnya lebih siap menghadapi kehidupan (nyata) ketimbang siswa yang tak terlibat di dalamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H