Setiap ada aktivitas upacara bendera, baik saat upacara bendera rutin Senin maupun upacara bendera hari-hari besar nasional di sekolah, selalu terlihat siswa palang merah remaja (PMR) menjalankan perannya.
Mereka sudah mengenakan tanda khusus. Berupa kain warna biru dengan lambang palang merah Indonesia (PMI), yang biasa mereka, juga sebagian orang, sebut slayer kain. Warna slayer kain beragam, setidaknya di dunia pendidikan, ada tiga warna.
Slayer kain yang berwarna hijau adalah untuk siswa PMR tingkat Mula, yaitu siswa SD. Sedangkan, slayer kain yang berwarna biru dikenakan siswa PMR tingkat Madya, yaitu siswa SMP. Sementara itu, slayer kain yang berwarna kuning dikenakan siswa PMR tingkat Wira, yaitu siswa SMA/SMK.
Di sekolah tempat saya mengajar, siswa PMR dengan slayer kainnya selalu siap sedia setiap ada upacara bendera. Mereka mengambil posisi di belakang barisan. Jumlahnya banyak. Sehingga, di setiap kelompok barisan, 2-3 barisan selalu ada siswa PMR di belakangnya.
Mereka bertugas berdasarkan jadwal. Jika Senin ini ia bertugas; Senin berikutnya ia tak bertugas. Yang bertugas adalah siswa PMR yang lain. Kecuali dibutuhkan secara khusus. Selama ini, pembagian tugas dilakukan secara baik. Tak ada yang kosong dari siswa PMR selama upacara bendera berlangsung.
Sehingga, semua siswa PMR menjalankan perannya secara nyata. Suka-duka menjalankan tugas saat upacara bendera dialami oleh semua siswa PMR. Semua mendapat pengalaman belajar yang sangat berarti.
Terutama untuk pengembangan kualitas diri. Sebab, dalam hal ini, kecerdasan emosional dan spiritual dapat dikelola. Pun demikian kecerdasan sosial dan personal.
Efek positif seperti ini dapat dialami oleh siswa yang ambil bagian dalam aktivitas PMR. Mereka dapat berasal dari siswa Kelas 7, Kelas 8, maupun Kelas 9.
Dalam melaksanakan tugas, mereka selalu terlihat siap sedia, baik pribadi maupun bersama. Saling mendukung. Tak tampak beda tingkat kelas karena mereka berbaur dalam menjalankan tugas.
Ada waktu siswa PMR yang bertugas menangani banyak siswa peserta upacara bendera karena banyak yang sakit. Tapi, juga ada waktu siswa PMR yang bertugas menangani hanya sedikit siswa karena memang sedikit yang jatuh sakit.
Banyak peserta upacara bendera yang sehat dan yang jatuh sakit dapat ditandai. Pada musim batuk-pilek, biasanya saat musim pancaroba, dipastikan banyak peserta upacara bendera yang jatuh sakit.
Saat-saat seperti ini siswa PMR yang bertugas mendapat banyak pekerjaan. Umumnya, jarak waktu antara satu dengan siswa yang lain yang jatuh sakit tak panjang. Ada yang tetiba membutuhkan pertolongan.
Yang di bagian sini membutuhkan siswa PMR karena ada peserta upacara bendera yang sakit. Yang di bagian sana juga membutuhkan siswa PMR karena tetiba jatuh sakit.
Memang ada saatnya seperti ini yang terjadi. Banyak siswa yang jatuh sakit. Itu sebabnya, pada saat-saat demikian, siswa PMR yang bertugas ditambah. Sehingga, mereka tak terlalu menanggung beban berat.
Dan, selama siswa PMR bertugas, guru pembimbing PMR tetap mendampingi mereka. Karenanya, ketika ada banyak peserta upacara bendera yang jatuh sakit, guru pembimbing PMR tak tinggal diam.
Pun demikian guru yang lain, sekalipun tak guru pembimbing PMR, mereka ikut ambil bagian jika dilihatnya ada yang membutuhkan pertolongan. Oleh karena itu, selama ini, berkaitan dengan perihal seperti ini tak ada persoalan yang menghambat. Penanganan terhadap siswa yang jatuh sakit berlangsung secara baik.
Siswa yang jatuh sakit tak selalu dalam kategori berat. Kategori berat dalam konteks ini adalah ketika siswa dalam keadaan pingsan. Sebab, siswa yang seperti ini tak cukup hanya dipapah untuk berjalan sendiri, tapi ia perlu dibantu sepenuhnya.
Misalnya, diangkat menggunakan tandu atau dragbar. Atau, diangkat dengan tangan secara bersama, yaitu dari lokasi yang termaksud pingsan hingga ke ruang unit kesehatan sekolah (UKS).
Siswa peserta upacara bendera yang mengalami sakit kategori ringan, tak sampai pingsan, biasanya hanya dibersamai saja untuk istirahat di teras kelas. Dan, mereka masih dapat melihat kelangsungan upacara bendera.
Rerata mereka yang sakit kategori ringan dapat segera pulih dan segar kembali. Setelah duduk di bangku yang ada di selasar kelas dan sedikit ada penanganan yang dilakukan oleh siswa PMR yang bertugas. Mungkin hanya diolesi minyak kayu putih, minum air hangat, atau teh manis hangat.
Bersamaan dengan selesainya upacara bendera, umumnya mereka sudah agak membaik. Sehingga, dapat mengikuti teman-temannya masuk ke ruang kelas masing-masing. Lalu, terlibat dalam pembelajaran.
Sementara itu, siswa yang jatuh sakit hingga perlu perawatan di ruang UKS ditangani oleh guru, yang selalu melibatkan siswa PMR yang bertugas. Beberapa siswa PMR memang ada yang bertugas di UKS. Untuk melayani siswa yang sakit.
Mereka memang bukan anak-anak yang memiliki kelebihan di bidang memberi tindakan terhadap anak yang sakit. Tapi, kemauan untuk ambil bagian di bidang ke-PMR-an merupakan spirit yang harus ditumbuhkan.
Sebab, siswa yang memiliki kesetiaan ambil bagian di bidang ini tak banyak jumlahnya. Karenanya, siswa yang sudah mau terlibat, apalagi keterlibatannya dimulai sejak Kelas VII hingga Kelas IX seperti di sekolah tempat saya mengajar, mereka adalah pribadi-pribadi yang rasa sosial kemanusiaannya tinggi.
Betapa tidak. Saat bertugas di UKS, misalnya, mereka harus total memberi layanan terhadap siswa yang sakit. Mulai dari mengambilkan minum, melayani memberi obat yang sudah disarankan oleh guru pembimbing.
Jika ada siswa yang terluka, mereka membantu membersihkan lukanya dan mengobatinya. Serta, jika ada yang terkilir, mereka menyampaikan kepada guru yang biasanya memberi bantuan dalam hal ini.
Karena, perihal massage perlu keterampilan khusus, yang selama ini saya tak pernah melihat atau mengetahui siswa PMR dapat melakukannya. Yang dapat melakukannya di sekolah tempat saya mengajar adalah guru mata pelajaran (mapel) Olahraga.
Siswa PMR juga sering terlibat dalam kegiatan pramuka, misalnya, saat berlangsung perkemahan, baik yang dilaksanakan di sekolah maupun di luar sekolah. Juga pada hari-hari biasa di sekolah yang kebetulan terjumpai ada siswa yang perlu bantuan kesehatan, siswa PMR pasti dilibatkan.
Hanya memang, ketika berlangsung upacara bendera, keterlibatan mereka lebih kentara dan tertata dengan baik. Sebab, ada jadwal yang sudah disiapkan dan diikutinya secara berkala.
Sehingga, melalui perannya dalam aktivitas ini, pengetahuan, sikap, dan keterampilan mereka semakin terasah. Lambat laun potensi mereka dalam bidang ke-PMR-an, yang sangat dekat dengan kepedulian, kemanusiaan, kebersamaan, pelayanan kesehatan, dan sosial kemasyarakatan akan terbentuk secara optimal.
Tambahan saat ada kunjungan pelayanan kesehatan dari pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) setempat, mereka juga dilibatkan. Sehingga, membentuk mereka menjadi pribadi yang lebih terbuka. Lebih mudah beradaptasi dan menerima hal dari luar yang sesuai dengan kecenderungannya. Dengan begitu, dapat mengetahui "dunia" luar, tak hanya sekolah.
Dalam konteks ini, mereka kemudian mengenal juga orang-orang yang berkecimpung di bidang kesehatan di puskesmas, yang mungkin jarang atau bahkan tak pernah mereka ketahui. Melalui ini, setidak-tidaknya mereka mengenal dokter dan perawat dengan sebagian aktivitasnya.
Dengan begitu, siswa PMR menjadi yang terdepan di bidangnya. Dapat menjadi inspirasi bagi siswa yang lain. Sekurang-kurangnya menginspirasi siswa untuk menjadi pribadi yang peduli, yang empati, yang cekatan, yang tak jijikan, yang siap menolong sesama siswa yang sedang dalam kondisi sakit.
Namun lebih daripada itu, siswa PMR akhirnya berdiri sebagai pribadi yang tak mudah merepotkan orang lain. Karena, mereka memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dapat juga digunakan untuk diri sendiri manakala sedang mengalami kondisi fisik, atau juga psikis, yang kurang menguntungkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H