Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Saat Memotong Rambut Siswa, Momen untuk Mengenalnya Lebih Dekat

28 September 2024   16:09 Diperbarui: 29 September 2024   06:58 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi--potong rambut. (Freepik via Kompas.com)

Guru, terlebih yang memiliki tugas tambahan urusan kesiswaan atau pembina organisasi siswa intra sekolah (OSIS), tak dapat lepas dari siswa yang berperilaku khusus. Selain guru bimbingan dan karier (BK), guru dengan tugas tambahan urusan kesiswaan atau pembina OSIS, menjadi guru terdepan dalam mengurusi siswa yang berperilaku khusus.

Siswa yang berperilaku khusus membutuhkan pendekatan khusus agar mereka tetap mendapatkan rasa nyaman. Dalam konteks mendidik, pendekatan tersebut harus menempatkan siswa sebagai mitra dialog.

Menempatkan siswa sebagai mitra dialog berarti menghargai keberadaan siswa dalam keadaan seperti apa pun. Siswa yang berperilaku khusus pun tetap diposisikan sebagai mitra dialog.

Dengan begitu, siswa memiliki kesetaraan dalam berkomunikasi. Siswa tak merasa diinterogasi, tapi diajak bicara bersama sehingga suasananya menyenangkan.

Tak sedikit akibat kesalahan memosisikan siswa yang berperilaku khusus dalam komunikasi berakhir dengan rasa tak nyaman. Bisa saja siswa dan guru sama-sama merasa tak nyaman.

Sebab, guru merasa gagal dalam mengurus siswanya yang berperilaku khusus. Sementara itu, siswa merasa diinterogasi, yang seakan kesalahan bertumpuk pada dirinya; sebaliknya guru seakan sosok yang sempurna.

Salah satu perilaku khusus siswa yang sering kami temukan di sekolah kami dan langsung mendapat penanganan adalah model potong rambut. Dalam hal ini kebanyakan siswa putra karena keadaan rambut mereka kelihatan.

Ada yang memotong rambut model jambul, diberi "jalan kutu", disemir, dibiarkan sampai menutup mata, atau diberi kuncir. Model tersebut menjadi tren di kalangan anak-anak. Karenanya, sangat mungkin tren rambut seperti itu dilakukan oleh anak di banyak sekolah dan tempat.

Memang, satu sekolah dengan sekolah yang lain belum tentu memiliki persepsi yang sama mengenai model rambut siswa. Ada sekolah yang menanganinya secara ketat. Namun, ada juga sekolah yang memberi kebebasan model rambut bagi siswanya.

Ilustrasi : Guru sedang memotong rambut siswa, diambil dari sahabatguru.com
Ilustrasi : Guru sedang memotong rambut siswa, diambil dari sahabatguru.com

Di sekolah tempat saya mengajar, perihal model rambut siswa menjadi kepedulian kami. Sehingga, setiap menjumpai siswa (khususnya putra) yang memiliki model rambut seperti disebutkan di atas, kami memberi perhatian khusus.

Pertama, memberi saran agar siswa segera merapikan rambutnya. Siswa yang langsung memotong/menata rambutnya sepulang sekolah sehingga esok harinya sudah rapi, tak ada tindakan lanjutan. Siswa tersebut beraktivitas di sekolah seperti biasa.

Kedua, terhadap siswa yang tak langsung memotong/menata rambutnya, kami melakukan prosesi potong rambut pada esok harinya. Sekolah sudah menyediakan beberapa alat potong rambut bertenaga listrik. Sekolah juga menyediakan gunting potong rambut.

Namun, yang sering kami gunakan adalah alat potong rambut bertenaga listrik. Sebab, alat yang satu ini lebih praktis penggunaannya dan hasilnya pasti rapi karena ada perangkat tambahannya yang memiliki beberapa pilihan ukuran.

Saat prosesi memotong rambut merupakan momen yang penting. Sebab, lazimnya dihubungkan dengan sanksi. Apalagi dari sudut pandang siswa, sudah pasti sanksi (berat). Prosesi memotong rambut siswa, oleh guru dan karyawan di sekolah kami selalu dimaknai sebagai hukuman atas pelanggaran.

Barangkali setali tiga uang dengan yang ada di sekolah lain. Guru dan karyawan, tentu juga siswa, memandang bahwa adanya tindakan guru memotong rambut siswanya adalah sanksi.

Oleh karena itu, siswa selalu menghindarinya. Sebab, selain rambut dipotong, siswa yang bersangkutan mungkin akan menjadi bahan pembicaraan siswa yang lain.

Itu sebabnya, kami selalu melakukan prosesi memotong rambut siswa dengan baik. Dengan cermat. Dengan hati. Tak asal memotong. Setidaknya hasilnya mendekati hasil yang dilakukan oleh para tukang potong rambut.

Perlakuan seperti ini bertujuan untuk mengubah imaji siswa. Agar tak lagi siswa memiliki pandangan bahwa kalau rambut dipotong oleh guru pasti buruk, dibuat botak-botak alias tak rata, sebagai sanksi dari pelanggaran.

Sudah tak pada saatnya lagi sanksi dipahami oleh siswa sebagai hal yang membuatnya menderita dan sedih. Tapi, sanksi ditanggungkan tak melukai perasaan siswa.

Dengan begitu, siswa tetap merasa dihargai sekalipun ia berada dalam kondisi menerima sanksi atas pelanggarannya. Siswa tetap optimis. Tak kehilangan kepercayaan diri atas sanksi yang ditanggungnya.

Ia tak merasa dipermalukan sehingga ketika masuk ke kelas, tetap nyaman. Dan, bukan mustahil, karena ia tetap tenang dan nyaman, teman-teman yang lain tak mengolok-oloknya.

Kalaupun teman-temannya memperbincangkannya tak menjadi beban. Sebab, teman-temannya melihat kenyataan yang tak mengejutkan dalam dirinya karena rambut dipotong secara baik dan rapi.

Bukankah selama ini anak-anak membayangkan bahwa sanksi mengenai rambut selalu buruk seperti telah disebutkan di atas? Dipotong tak rata; ada botak di bagian sana, di bagian sini.

Jadi, kalau siswa yang menanggung sanksi potong rambut ternyata hasil potongan rambutnya bagus, "ekspektasi" anak-anak yang lain tak terwujud. Sehingga, mereka tak memiliki bahan untuk mengolok-olok siswa yang menanggung sanksi ini.

Kenyataan ini, disadari atau tidak, sekaligus mengubah imaji anak-anak bahwa sanksi tak selalu buruk. Sanksi atas pelanggaran bisa "baik" dan tak menyakitkan hati.

Lalu, apakah akhirnya kenyataan tersebut malah mengundang anak-anak lain untuk melakukan pelanggaran? Tak demikian. Sebab, saat prosesi memotong rambut, guru justru dapat berdialog dengan siswa bersangkutan secara terbuka.

Berbicara dari hati ke hati. Seperti saya, sembari memotong rambut siswa selalu memanfaatkannya untuk berbicara.

Menanyakan tempat tinggalnya, orang tuanya, saudaranya, kebiasaan setiap hari yang dilakukan, uang sakunya, sudah sarapan atau belum, sarapannya masakan ibu atau membeli di warung, dan masih banyak hal yang bisa ditanyakan. Siswa menjawab dengan ringan dan terbuka.

Jadi, melalui dialog termaksud, saya merasa akrab dengannya. Ia akhirnya bercerita terhadap saya, apa pun yang saya tanyakan. Peran saya saat memberi sanksi potong rambut malah (berubah) seperti teman bicara.

Pada titik inilah, saya memosisikannya sebagai mitra dialog. Saya tak menjadikannya pihak yang diinterogasi, sementara saya penginterogasi. Kesan saya sebagai penginterogasi dan ia sebagai yang diinterogasi tak ada sama sekali.

Saya merasa saat prosesi memotong rambut sebagai sanksi atas pelanggaran, tak menegangkan. Saya melihat siswa yang bersangkutan tenang, nyaman, berbicara santai, dan tersenyum saat saya menyelipkan sedikit humor. Siswa menerima sanksi, tapi tak merasa mendapat sanksi.

Hal penting yang selalu saya selipkan adalah mengajaknya untuk refleksi. Bahwa dengan melakukan pelanggaran semacam ini ternyata ada banyak pihak yang kurang beruntung.

Pertama, dirinya (siswa bersangkutan) tak dapat mengikuti pembelajaran pada jam tertentu, yaitu saat rambutnya dipotong. Sementara itu, teman-temannya mengikuti pembelajaran di ruang belajar. Jadi, jelas tak menguntungkannya karena ia ketinggalan pembelajaran.

Kedua, saya, atau pembina OSIS yang lain, yang ambil peran dalam pemotongan rambut siswa juga tak sepenuhnya dapat mengajar. Kami harus memberi tugas terlebih dahulu terhadap siswa di kelas yang kami tinggalkan jika saat memotong rambut siswa termaksud bertepatan dengan jam mengajar.

Jadi, kasihan siswa yang harus mengerjakan tugas hanya karena kami memotong rambut. Mereka menjadi korban. Padahal, mereka tak bersalah. Maka, yuk berubah demi keberuntungan bersama!

Lebih daripada itu, saya tak lupa menyampaikan kepada siswa yang menanggung sanksi untuk menceritakan refleksi ini kepada teman-temannya. Yaitu, orang, termasuk siswa (baca: anak), lebih berharga membagikan keberuntungan bagi sesama ketimbang menumpahkan kerugian terhadap sesama.

Berbagi hasil refleksi kepada teman-temannya dalam maksud agar teman-temannya (siswa lain) tak meniru berperilaku khusus merupakan langkah baik yang bisa dilakukan.

Tentu saja tak berarti guru akan kehilangan momen dialog untuk lebih mengenal siswa jika tak ada siswa yang berperilaku khusus. Tak begitu. Guru tetap memiliki momen ini karena ada banyak kemungkinan dapat bertemu dengan siswa.

Akhirnya, yang hendak ditekankan di sini adalah guru dapat memanfaatkan momen secara positif, yaitu mengenal siswa lebih dekat saat menanganinya gegara siswa melakukan pelanggaran.

Sepertinya, dalam maksud ini, tak hanya melalui penanganan pelanggaran model potong rambut siswa, guru dapat mengenal siswa lebih dekat.

Tapi, juga melalui penanganan pelanggaran-pelanggaran dalam hal yang lain. Karenanya, selamat mengenal siswa lebih dekat melalui keterlibatan menangani problem siswa!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun