Di sekolah tempat saya mengajar, perihal model rambut siswa menjadi kepedulian kami. Sehingga, setiap menjumpai siswa (khususnya putra) yang memiliki model rambut seperti disebutkan di atas, kami memberi perhatian khusus.
Pertama, memberi saran agar siswa segera merapikan rambutnya. Siswa yang langsung memotong/menata rambutnya sepulang sekolah sehingga esok harinya sudah rapi, tak ada tindakan lanjutan. Siswa tersebut beraktivitas di sekolah seperti biasa.
Kedua, terhadap siswa yang tak langsung memotong/menata rambutnya, kami melakukan prosesi potong rambut pada esok harinya. Sekolah sudah menyediakan beberapa alat potong rambut bertenaga listrik. Sekolah juga menyediakan gunting potong rambut.
Namun, yang sering kami gunakan adalah alat potong rambut bertenaga listrik. Sebab, alat yang satu ini lebih praktis penggunaannya dan hasilnya pasti rapi karena ada perangkat tambahannya yang memiliki beberapa pilihan ukuran.
Saat prosesi memotong rambut merupakan momen yang penting. Sebab, lazimnya dihubungkan dengan sanksi. Apalagi dari sudut pandang siswa, sudah pasti sanksi (berat). Prosesi memotong rambut siswa, oleh guru dan karyawan di sekolah kami selalu dimaknai sebagai hukuman atas pelanggaran.
Barangkali setali tiga uang dengan yang ada di sekolah lain. Guru dan karyawan, tentu juga siswa, memandang bahwa adanya tindakan guru memotong rambut siswanya adalah sanksi.
Oleh karena itu, siswa selalu menghindarinya. Sebab, selain rambut dipotong, siswa yang bersangkutan mungkin akan menjadi bahan pembicaraan siswa yang lain.
Itu sebabnya, kami selalu melakukan prosesi memotong rambut siswa dengan baik. Dengan cermat. Dengan hati. Tak asal memotong. Setidaknya hasilnya mendekati hasil yang dilakukan oleh para tukang potong rambut.
Perlakuan seperti ini bertujuan untuk mengubah imaji siswa. Agar tak lagi siswa memiliki pandangan bahwa kalau rambut dipotong oleh guru pasti buruk, dibuat botak-botak alias tak rata, sebagai sanksi dari pelanggaran.
Sudah tak pada saatnya lagi sanksi dipahami oleh siswa sebagai hal yang membuatnya menderita dan sedih. Tapi, sanksi ditanggungkan tak melukai perasaan siswa.
Dengan begitu, siswa tetap merasa dihargai sekalipun ia berada dalam kondisi menerima sanksi atas pelanggarannya. Siswa tetap optimis. Tak kehilangan kepercayaan diri atas sanksi yang ditanggungnya.