Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Tiwul, Makanan Khas dari Desa ke Kota

19 September 2024   10:46 Diperbarui: 19 September 2024   17:18 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi 3, Gatot yang siap dikemas dan siap juga untuk disantap.(Dokumentasi pribadi)

Dalam seminggu, ia berjualan di tiga lokasi, yaitu Senin dan Selasa di Ambarawa; Rabu dan Kamis di Ungaran; Jumat, Sabtu, dan Minggu di Salatiga.

Khusus di Salatiga disebutkan bahwa ia dalam sehari, sejak sekitar pukul 08.00 sudah berjualan. Ada sebanyak 80 porsi yang dibawa. Usai berjualan disesuaikan dengan habis atau belumnya porsi tiwul yang dijual.

Tak sama pada setiap harinya. Pada hari tertentu pukul 12.00 WIB, tiwul sudah habis. Berbeda dengan saat kami membeli, waktu itu sudah sekitar pukul 17.00 WIB masih ada enam porsi tiwul yang belum terjual dari 80 porsi.

Tapi, dalam pengakuan Om penjual, kondisi demikian wajar. Kadang ramai kadang agak ramai. Tentang kondisi tak ramai dalam arti tak ada pembeli, tak disinggung. Sebab, diakuinya selama ia berjualan selalu ada yang membeli.

Ilustrasi 4, Om penjual melayani pembeli tiwul.(Dokumentasi pribadi)
Ilustrasi 4, Om penjual melayani pembeli tiwul.(Dokumentasi pribadi)

Berjualan tiwul, disebutnya bahannya, yaitu gaplek diambil secara khusus dari Gunung Kidul. Karena, ia harus datang langsung ke lokasi dan memilih gaplek yang baik. Hal ini sudah lima tahun dijalaninya. Tapi, adanya ekspansi berjualan dilakukan secara bertahap. Dari Ambarawa, Ungaran, hingga Salatiga.

Tiwul yang berasal dari desa, terutama desa sentra singkong, kini dapat ditemukan di kota-kota. Tiwul disukai oleh orang-orang yang tinggal di kota.

Boleh jadi mereka adalah orang-orang yang dulunya tumbuh di desa, tapi saat dewasa bahkan tua hidup di kota. Sehingga, tiwul yang ketika masih berada di desa menjadi kudapan rutin, pada masa dewasa bahkan tua di kota menjadi makanan yang dirindukan.

Apalagi tiwul pada masa kini pun sudah jarang ada sekalipun di desa. Di desa tempat saya sewaktu kecil tinggal, misalnya, yang dulunya mudah didapatkan tiwul, kini tak lagi mudah. Tiwul sudah langka. Tak ada orang yang membuat gaplek.

Tapi, Om penjual masih dapat menemukan gaplek di Gunung Kidul secara mudah dan malah ia dapat memilih kualitas gaplek yang bagus. Ia membeli gaplek datang sendiri ke Gunung Kidul, seperti yang sudah disebutkan di atas, untuk menghindari kualitas gaplek yang buruk.

Gaplek sebagai bahan baku tiwul dan juga gatot yang diusung dari Gunung Kidul, yang (tentu saja) berpusat di desa dan ternyata dirindu oleh orang-orang yang hidup jauh dari desa menunjukkan bahwa tiwul juga gatot merupakan makanan khas desa yang menembus kota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun