Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Guru Sebatas Menjembatani Siswa Meminta dan Memberi Maaf, Selebihnya Harapan

21 Agustus 2024   09:06 Diperbarui: 24 Agustus 2024   17:13 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Para siswa berbaris sebelum memasuki kelas. (Foto: KOMPAS/REGINA RUKMORINI) 

Semua sekolah menciptakan lingkungan ramah anak. Untuk menandainya, sekolah umumnya mengadakan  pencanangan sekolah ramah anak.

Bahkan, untuk mendapatkan pengakuan dari publik, galibnya acara pencanangan ini diunggah di media sosial (medsos) sekolah. Melalui medsos sudah barang tentu dilihat oleh banyak orang

Setidak-tidaknya, dilihat oleh siswa dan orangtua/wali siswa. Dan, jika medsos sekolah sudah populer di kalangan warganet, niscaya dalam sekejap sudah ratusan, bahkan ribuan pemirsa.

Hal ini menambah pengakuan mengenai sekolah termaksud ramah anak. Tergambar siswa nyaman dan aman saat berada di sekolah dalam pembelajaran.

Tapi, sekalipun begitu, (ternyata) tak selalu dapat menggambarkan kenyataan. Artinya, masih ada siswa yang kurang kontrol diri. Jadi, ada saja siswa yang harus mendapatkan perhatian khusus.

Misalnya, mereka  satu di antaranya bermaksud senda gurau, tapi satunya menganggap betulan. Sehingga, memungkinkan hal ini mengarah ke percekcokan.

Mereka yang awalnya baik-baik saja, akhirnya dapat tak baik-baik saja. Relasi mereka terganggu. Dan, ini tak dapat dibiarkan. Perlu diselesaikan. Agar, tak berlanjut ke arah yang lebih buruk.

Maka, gurulah yang melakukan peran untuk membantu  menyelesaikan problem mereka. Caranya, ini yang umum dilakukan, guru mengundang kedua siswa. Mereka diajak bercakap-cakap.

Prosesnya, selalu dimulai dari tahap mereka diberi waktu untuk bercerita tentang persoalan yang mereka hadapi. Satu per satu. Mereka bercerita bergantian. Guru mencermati. Dan, meminta keterangan ulang jika guru belum memperoleh kejelasan.

Dalam proses ini sangat mungkin ada siswa yang mengatakan sesuai dengan kenyataan. Tapi, sangat mungkin ada juga yang mengatakan tak sesuai dengan kenyataan.

Lantaran, orang, termasuk siswa, memiliki naluri untuk bertahan. Tentu tak salah jika bertahan dalam sikap yang membangun, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

Tapi, jika sebaliknya, bahkan untuk mempertahankan (saja) ia harus berlaku kurang jujur, tentu  kurang benar. Membiarkan ini terjadi berarti tak mengedukasi.

Itu sebabnya, adanya problem seperti disebut di atas justru dapat menjadi ruang edukasi bagi guru untuk membawa siswa termaksud ke kesadaran yang positif.

Sebab, guru memfasilitasi terhubungnya komunikasi hati antarsiswa yang sedang berseteru. Siswa yang salah dibimbing untuk meminta maaf. Sedangkan, siswa yang dimintai maaf, dibimbing untuk memberi maaf.

Ini upaya sangat positif yang biasa dilakukan oleh guru setiap menjumpai persoalan antarsiswa. Karena ini bagian yang sangat penting. Yakni, menciptakan simpul rekonsiliasi antarmereka.

Selain memfasilitasi, guru juga menjadi saksi adanya rekonsiliasi ini. Sekalipun pemintaan dan pemberian maaf sebatas dapat didengar melalui telinga dan jabat tangan dilihat lewat mata, tapi dua peran guru --memfasilitasi dan menyaksikan-- merupakan peran yang mulia.

Sebab, siswa sangat mungkin tak akan mau meminta dan memberi maaf. Seperti pada umumnya yang terjadi, apalagi di kalangan siswa, yang memang untuk kasus demikian membutuhkan bantuan. Dan, gurulah yang berpeluang membantu karena berada dekat dengan siswa saban hari.

Dan, boleh dibilang hampir semua guru melakukannya. Di sekolah tempat saya mengajar, misalnya, menjembatani antarsiswa meminta dan memberi maaf (pernah) dilakukan oleh semua guru.

Tapi, masing-masing guru melakukan dalam jumlah yang berbeda. Tergantung, maaf, peka tidaknya guru atau lama pendeknya jam terbang guru. Ada guru yang melakukannya sudah banyak, ada yang baru sedikit.

Yang, tentu (saja) hal ini tak jauh berbeda dilakukan oleh guru di sekolah lain. Sekalipun saya tak pernah menanyakannya kepada guru di sekolah lain di daerah tempat saya berdomisili, saya sangat meyakini bahwa  mereka melakukannya.

Sebab, membimbing siswa, termasuk perihal membudayakan sikap maaf-memaafkan, merupakan tugas dan fungsi (tupoksi) guru dalam dunia pendidikan. Bukankah ini bagian dari pembentukan sikap positif siswa?

Tapi, sudah pasti guru hanya sebatas menjembatani siswa meminta dan memberi maaf. Tak lebih dari itu. Guru sudah merasa senang terhadap siswa, misalnya, yang sudah saling memaafkan dalam percekcokan.

Dan, guru tak mengerti siswa yang memberi maaf ini bersifat tulus atau tidak. Apakah sekadar memenuhi permintaan gurunya? Boleh jadi. Ini artinya, ada siswa yang memang tulus dalam memberi maaf. Tapi, ada juga yang  sebaliknya, kurang tulus.

Bahkan, siswa yang meminta maaf pun mungkin saja sama. Ada siswa yang meminta maaf secara tulus. Tapi, sangat mungkin karena (hanya) sekadar memenuhi permintaan guru alias kurang tulus.

Sampai ke kedalaman benak, yakni tulus atau kurang tulus, tak satu pun guru mengetahuinya. Yang, kemudian guru mengetahui, biasanya, tetiba siswa termaksud sudah ada dalam satu permainan, bahkan dalam kerumunan bersenda gurau bersama teman-temannya.

Inilah alam anak-anak, yang demikian mudah berubah, tanpa dendam. Seperti salah satu teman guru menceritakan pengalamannya di sekolah lama tempat ia mengabdi bahwa saat orangtua masih bersengketa, anak-anak mereka sudah bermain bersama.

Maka, guru sekalipun memerankan sebatas menjembatani siswa yang sedang bercekcok untuk saling berjabat tangan dan maaf-memaafkan, sudah lebih dari cukup. Dapat dinilai sebagai sikap yang mulia dan terpuji bagi seorang guru.

Ketulusan siswa yang memberi maaf dan meminta maaf, bukan bagian guru. Bagian guru hanya sebatas menyatukan tangan mereka berjabat dan bibirnya mengucap maaf. Tak lebih dalam dari itu. Sebab, dalamnya hati merupakan bagian Sang Khalik.

Maka, sejatinya ketulusan orang yang memberi maaf kepada orang yang meminta maaf tak dapat diketahui oleh orang lain. Hanya dirinya sendiri yang mengetahui.

Dan, tentu tak perlu disiarkan kepada publik. Cukup untuk dikonsumsi diri sendiri dan relasinya dengan Tuhan Yang Maha Mengetahui. Jadi, memberi maaf hingga di hati atau hanya di bibir sangat pribadi.

Guru, yang sudah terbiasa mendamaikan siswa yang berseteru dalam wujud berjabat tangan dan berucap maaf, berharap besar siswa menjadi bersekutu. Lalu, bermain, belajar, dan bersenang-senang bersama.

Dan, harapan ini nyaris semua terwujud. Tak ada siswa yang menyimpan benci, apalagi dendam. Ini setidak-tidaknya yang terjadi di sekolah tempat saya mengajar.

Meski durasi untuk kembali ke keadaan natural, satu siswa dengan siswa yang lain, dapat saja berbeda. Ada yang cepat, ada yang lambat. Saya pun yakin tak jauh berbeda yang teralami di sekolah lain, baik di kota maupun di desa.

Siswa, yang masih anak-anak, apalagi yang tingkat SD dan SMP, lebih mudah kembali pulih. Dan, kepulihan inilah yang dapat menjadi bukti (nyata) bahwa saat mereka meminta dan memberi maaf bersifat tulus alias tak pura-pura.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun