Tapi, sudah pasti guru hanya sebatas menjembatani siswa meminta dan memberi maaf. Tak lebih dari itu. Guru sudah merasa senang terhadap siswa, misalnya, yang sudah saling memaafkan dalam percekcokan.
Dan, guru tak mengerti siswa yang memberi maaf ini bersifat tulus atau tidak. Apakah sekadar memenuhi permintaan gurunya? Boleh jadi. Ini artinya, ada siswa yang memang tulus dalam memberi maaf. Tapi, ada juga yang  sebaliknya, kurang tulus.
Bahkan, siswa yang meminta maaf pun mungkin saja sama. Ada siswa yang meminta maaf secara tulus. Tapi, sangat mungkin karena (hanya) sekadar memenuhi permintaan guru alias kurang tulus.
Sampai ke kedalaman benak, yakni tulus atau kurang tulus, tak satu pun guru mengetahuinya. Yang, kemudian guru mengetahui, biasanya, tetiba siswa termaksud sudah ada dalam satu permainan, bahkan dalam kerumunan bersenda gurau bersama teman-temannya.
Inilah alam anak-anak, yang demikian mudah berubah, tanpa dendam. Seperti salah satu teman guru menceritakan pengalamannya di sekolah lama tempat ia mengabdi bahwa saat orangtua masih bersengketa, anak-anak mereka sudah bermain bersama.
Maka, guru sekalipun memerankan sebatas menjembatani siswa yang sedang bercekcok untuk saling berjabat tangan dan maaf-memaafkan, sudah lebih dari cukup. Dapat dinilai sebagai sikap yang mulia dan terpuji bagi seorang guru.
Ketulusan siswa yang memberi maaf dan meminta maaf, bukan bagian guru. Bagian guru hanya sebatas menyatukan tangan mereka berjabat dan bibirnya mengucap maaf. Tak lebih dalam dari itu. Sebab, dalamnya hati merupakan bagian Sang Khalik.
Maka, sejatinya ketulusan orang yang memberi maaf kepada orang yang meminta maaf tak dapat diketahui oleh orang lain. Hanya dirinya sendiri yang mengetahui.
Dan, tentu tak perlu disiarkan kepada publik. Cukup untuk dikonsumsi diri sendiri dan relasinya dengan Tuhan Yang Maha Mengetahui. Jadi, memberi maaf hingga di hati atau hanya di bibir sangat pribadi.
Guru, yang sudah terbiasa mendamaikan siswa yang berseteru dalam wujud berjabat tangan dan berucap maaf, berharap besar siswa menjadi bersekutu. Lalu, bermain, belajar, dan bersenang-senang bersama.
Dan, harapan ini nyaris semua terwujud. Tak ada siswa yang menyimpan benci, apalagi dendam. Ini setidak-tidaknya yang terjadi di sekolah tempat saya mengajar.