Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Cerita tentang Siswa yang (Pernah) Menjadi Anak Punk

5 Agustus 2024   12:26 Diperbarui: 6 Agustus 2024   19:34 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Anak Punk (KOMPAS.com/HENDRI SETIAWAN)

Di sekolah tempat saya mengabdi tak semua siswa anak rumahan. Sebab, ada juga siswa tak anak rumahan. Beberapa pernah menjadi anak punk yang kini sudah menjadi anak rumahan.

Ada yang meninggalkan sekolah, yang tentu juga meninggalkan rumah, bergabung ke komunitas anak punk. Baru saja. Dan, ada juga yang mengalami kondisi kurang stabil, saat tertentu bergabung anak punk; saat yang lain menjadi anak rumahan.

Memang jika dibandingkan dengan anak rumahan, yang barangkali sudah merasa aman dan nyaman sebagai siswa, jumlahnya sangat kecil. Tapi, sekalipun sangat kecil, ia adalah anak yang perlu mendapat "dekapan".

Satu siswa kami, yang olehnya (sendiri) dikatakan bahwa dirinya "ketagihan di rumah" setelah sebelumnya menjadi anak punk, kini rajin sekolah. Saat ini ia Kelas VII. Laki-laki. Rumahnya sangat dekat dengan lokasi sekolah.

Anda pasti sudah dapat menduga. Ia diterima di sekolah dalam jalur zonasi. Tapi, tak masalah. Sebab, bagi sebagian siswa, bahkan juga orangtua, ini adalah rezeki. Karena lokasi rumah dekat dengan lokasi sekolah, mereka pasti diterima.

Jalur ini sempat menjadi keroyokan masyarakat. Sampai(-sampai) pada waktu-waktu yang lalu, banyak yang berani melakukan perubahan data kependudukan.

Untung pihak yang berkepentingan peka terhadap realitas buruk ini. Sehingga, ada kebijakan baru yang lebih membangun suasana edukasi bagi masyarakat.

Dengan begitu, anak-anak yang lokasi tempat tinggalnya dekat dengan lokasi sekolah, siapa pun ia, sama-sama mendapat peluang, yang tak terlalu berat berkompetisi jarak karena semua warga asli bukan titipan.

Dan, sekolah tak dapat berbuat apa pun. Sekolah harus menerimanya. Termasuk, sekalipun ia adalah anak punk. Seperti yang di sekolah kami mengalaminya.

Kondisi ini yang sebenarnya ideal bagi sekolah. Sebab, sudah seharusnya sekolah siap mendampingi semua anak. Siswa, yang termasuk anak punk sekalipun, agar dapat memiliki pengalaman belajar yang membawanya ke perubahan.

Yang, ketika awal masuk sekolah masih serasa anak punk, setelah memiliki pengalaman belajar (di sekolah) serasa anak rumahan. Dalam proses perubahan ini yang sejatinya menjadi tantangan setiap sekolah dan semestinya sekolah dapat melewatinya dengan "cantik".

Kalau sekolah hanya menerima anak-anak rumahan, sudah pasti lebih enak dan nyaman. Karena, tak banyak persoalan. Semua berlangsung aman dan nyaman. Sekolah hanya berada di zona nyaman, tenteram, dan menyenangkan.

Tapi, kondisi ini sebenarnya satu kemiskinan bagi sekolah. Karena, tak ada pengalaman yang seru dan menantang. Misalnya, dalam mendampingi anak yang memiliki pengalaman pergaulan yang keras.

Sekalipun tentu saja setiap sekolah memiliki tantangannya sendiri-sendiri. Tak selalu siswa yang (pernah) menjadi anak punk. Siswa dalam kondisi persoalan lain juga sebagai sebuah tantangan. Yang, di dalamnya ada pengalaman yang seru dan menantang.

Jika di sekolah Anda ada siswa yang (pernah) menjadi anak punk berarti sama dengan yang ada di sekolah tempat saya mengajar. Cerita yang kita dapatkan bisa jadi sama, jika Anda melakukan seperti yang sudah saya lakukan.

Begini, saat masuk pada masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) hari kedua 2024/2025, tetiba ada anak Kelas VII tak masuk. Saya mendengar informasi dari salah satu teman guru, yang rumahnya dekat dengan rumah anak ini, bahwa ketakmasukan ini karena ia kabur dari rumah.

Ia pergi dari rumah karena --yang juga saya dengar dari informasi teman guru termaksud-- tak nyaman dengan kata-kata kakeknya. Ia dan orangtuanya memang tinggal satu rumah dengan sang kakek.

Sehari sebelumnya, saya memang bertemu dengan orangtuanya di sekolah. Kedatangannya di sekolah karena kami undang. Tujuannya untuk membicarakan tentang anaknya, yang rambutnya dipotong model avatar.

Di dalam bincang-bincang, orangtua siswa kami ini mengungkapkan bahwa betapa sulitnya mendidik si anak. Ia mengatakan si anak sudah bergabung anak punk. Karenanya, ia bersikap keras terhadap si anak.

Diakuinya juga, kakaknya, yang dulu pernah menjadi siswa kami, juga bersikap keras terhadap adiknya yang kini menjadi siswa kami. Maksud orangtua dan kakaknya bersikap keras agar si anak menuruti nasihat orangtua.

Harus dimengerti bahwa maksud ini baik. Karena, agar si anak hidup tertib, disiplin, dan patuh. Tapi, pengalaman masa kini menunjukkan bahwa sikap keras, apalagi sampai kekerasan fisik, tak bakal membawa hasil baik.

Yang selalu terjadi justru si anak memberontak. Tak betah berada di rumah. Yang nyaman dan aman baginya adalah ketika ia berada di luar rumah.

Tapi, ini yang sering kurang disadari oleh sebagian orangtua. Yaitu, kaburnya si anak dari rumah karena tak menemukan lingkungan nyaman dan aman di rumah. Sebab, sikap buruk orang-orang di sekitarnya dalam keluarga.

Si anak, bahkan orang dewasa pun, selalu merindukan lingkungan yang nyaman dan aman. Tak ada satu pun orang yang memiliki kerinduan terhadap lingkungan yang sebaliknya.

Karenanya, sudah semestinya, orangtua siap sedia sebagai orang pertama yang menciptakan lingkungan nyaman dan aman bagi anak. Bersikap lembut dan peduli terhadap anak sangat dibutuhkan.

Orangtua harus mau membangun dialog yang saling menghargai dengan anak. Tak boleh karena ia merasa menjadi orangtua, yang memenuhi kebutuhan anak, lalu bebas bersikap.

Mengabaikan kepentingan anak. Atau, acuh tak acuh terhadap kebutuhan anak. Kurang arif bersikap demikian. Itu sebabnya, menjauhi sikap demikian sangat menguntungkan.

Upaya sekolah menciptakan lingkungan ramah anak tak ada hasilnya jika tak diimbangi dengan lingkungan di rumah. Artinya, lingkungan rumah juga harus ramah anak.

Maka, sejatinya, jika kedua lingkungan tempat anak bernaung dan beraktivitas dikondisikan nyaman dan aman akan menjadi kesukaan dan kebahagiaan anak. Anak betah di sekolah, pun demikian betah di rumah.

Hal di atas merupakan materi perbincangan saya dengan orangtua salah satu siswa kami, yang rambutnya dipotong model avatar. Sepertinya, ia sepakat dengan pemikiran-pemikiran positif dalam perbincangan ini.

Karenanya, ini kata teman guru, ia mempraktikkan pemikiran-pemikiran ini dalam menyikapi anaknya. Tapi sayang, sang kakek, yang tinggal bersama dalam satu rumah, justru menolak sikap ini. Sebab, begini katanya, "anak seperti itu, kok, dilembuti".

Mendengar perkataan sang kakek seperti ini, si anak langsung kabur. Saat ditelepon oleh orangtuanya, ia bilang, mau pulang jika kontrak rumah. Tentu maksud si anak agar tak tinggal serumah dengan sang kakek. Sedih bukan?

Tapi, puji Tuhan! Entah faktor apa, yang hingga kini tak saya ketahui, anak termaksud dua hari kemudian masuk sekolah. Dan, lebih tak saya sangka, ia tampak akrab dengan salah satu siswa kami yang mantan anak punk. Yang, sama-sama Kelas VII.

Memang beberapa hari sebelumnya, saya berbincang-bincang dengan siswa kami yang mantan anak punk ini. Ia bercerita aktivitasnya ketika masih bergabung anak punk.

Ia pernah sampai ke Yogyakarta, Jepara, Demak, Semarang, Pati, Purwodadi, dan Rembang. Untuk memenuhi makan, demikian ia mengatakan, mengamen di jalan. Atau, jika terpaksa, ia dan teman-temannya meminta-minta.

Dikatakannya pula, ia dapat terlepas dari komunitas anak punk (waktu itu ia masih SD) karena ketika dikontak ayahnya dijanjikan diberi uang, ia pulang. Dan, ia bilang, seperti yang sudah disebutkan di atas, saat pulang, ia malah ketagihan berada di rumah hingga sekarang.

Orangtua yang menjanjikan memberi uang sudah menunjukkan bahwa ia berupaya menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak. Ini upaya yang terlihat sangat sederhana. Tapi, kenyataan menunjukkan bahwa anak akhirnya pulang dan merasa ketagihan berada di rumah.

Ilustrasi: Anak punk, diambil dari www.beritamagelang.id
Ilustrasi: Anak punk, diambil dari www.beritamagelang.id

Saat berbincang-bincang, saya memang sempat menyampaikan kepadanya bahwa temannya yang kabur dari rumah supaya ia mau membantu mencarinya. Saya menyatakan bahwa kalau dirinya dapat ketagihan di rumah, pasti anak yang kabur, temannya ini, dapat juga ketagihan di rumah.

[Ini yang saya katakan: kamu pasti dapat menjadi bagian darinya. Saya yakin, kamu pasti bisa cepat menemukannya. Ajaklah ia pulang, sepertimu. Kalau kamu bisa, ia pun pasti bisa. Betah bersama keluarga dan menjadi ketagihan di rumah.]

Dan, saya merasa bahagia ketika melihat mereka berdua begitu akrab. Mereka kebetulan berada dalam satu kelas. Dan, ternyata pula, mereka dalam satu kampung. Yang, tempat tinggalnya juga sangat dekat dengan lokasi sekolah.

Saya belum mengerti persis si anak pulang ke rumah dan kembali sekolah karena ajakan siswa kami yang mantan anak punk atau tidak. Yang, pasti, mereka terlihat akrab.

Dan, jika memang siswa kami yang mantan anak punk yang mengajaknya pulang dan kembali sekolah, satu keberhasilan sudah diraihnya. Ini sebuah prestasi yang layak diapresiasi. Mantan anak punk berhasil mengajak kembali pulang dan sekolah temannya.

Sayang, masih ada cerita yang memprihatinkan. Sebab, satu siswa kami yang kini Kelas IX, laki-laki, kabur dari rumah. Kabar terakhir, ia bergabung dengan anak punk. Bahkan, ia menjadi ketuanya.

Kabar ini saya dapatkan dari guru Bimbingan dan Konseling (BK). Saat masuk, ia memang diajak berbincang-bincang oleh guru BK.

Hasil yang didapat oleh guru BK adalah pengakuan anak termaksud, seperti yang sudah saya sebutkan di atas. Ia bergabung anak punk dan dirinya diangkat menjadi ketua dalam komunitas ini.

Yang menyebabkan dirinya tak lagi sekolah dan bergabung dengan anak punk, yang sudah pasti kabur dari rumah, adalah memberontak terhadap sikap orangtua. Sikap orangtua yang, saya rasa, kurang menghargainya.

Intinya, orangtua perlu selalu membangun komunikasi dengan anak secara terbuka. Tak boleh lagi berpikir bahwa asal sudah mencukupi kebutuhan fisik anak, sudah beres.

Ternyata tak demikian. Anak memiliki kebutuhan batin yang perlu juga dipenuhi oleh orangtua. Jika tak demikian, sekolah tak lagi memiliki kekuatan untuk memberi "dekapan" terhadap anak ini, yang adalah siswa, benih muda, yang perlu ditumbuhkembangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun