Masuk pertama sekolah hampir tiba. Pada saat itu banyak orangtua yang mengantar anaknya. Baik orangtua maupun anak merasakan kegembiraan. Apalagi menjadi bagian dari sekolah idaman.
Kegembiraannya pasti bertambah kala mengetahui ada banyak teman dari sekolah sebelumnya. Seperti lama tak jumpa, lalu berjumpa. Luapan kegembiraan terekspresikan sempurna.
Anak akan bertemu anak. Mereka, akan berkelompok. Membangun percakapan. Yang, mungkin agak dikontrol adalah bersenda gurau, pasalnya mereka berada di lingkungan baru.
Sementara itu, orangtua juga bertemu dengan orangtua. Ini terutama yang tak bekerja, entah karena izin tak masuk bekerja. Atau, memang berwiraswasta yang memiliki jam kerja bebas. Atau juga bagi kaum ibu sebagai ibu rumah tangga.
Mereka bercengkerama di halaman sekolah. Membentuk kelompok-kelompok. Yang, sangat mungkin memperbincangkan anak mereka. Seperti sedang merayakan keberhasilan. Dan, memang mereka tak keliru sebab mereka merayakan anaknya mendapat sekolah idaman.
Keadaan ini akan berbeda dengan anak-anak yang mendapat sekolah bukan sekolah pilihannya. Mereka pasti kehilangan kegembiraan. Kurang bersemangat ke sekolah. Dan, dapat dipastikan bahwa anak dalam kelompok ini pasti lebih banyak diam.
Yang, dapat saja sama persis dengan keadaan yang dialami oleh sebagian orangtua mereka. Menghindari percakapan alias diam. Dan, sangat mungkin begitu usai mengantar, mereka langsung pulang, meninggalkan area sekolah.
Maka, anak-anak dalam kelompok ini sangat membutuhkan pendampingan. Karena, sangat mungkin mereka memberontak terhadap keadaan yang dialaminya.
Saya pernah menghadapinya ketika si bungsu tak dapat diterima di sekolah idamannya. Ia sangat kecewa. Tak dapat menerima kenyataan yang terjadi atas dirinya.
Keadaan mentalnya sangat melemah. Tak mau berbicara. Yang terlihat atas dirinya adalah kesedihan dan kebencian. Kehilangan semangat. Keceriaan yang selalu saya jumpai pada hari-hari sebelumnya, saat ia merasa gagal, tak saya jumpai lagi.