Semoga saja masyarakat memahami maksud ini. Sehingga, proses PPDB, lebih-lebih yang jalur zonasi, tak lagi menimbulkan persoalan. Dapat berlaku adil terhadap semua warga yang membutuhkannya.
Tentu saja hal ini diharapkan dapat juga berlangsung baik, adil, sesuai aturan, untuk jalur yang lainnya. Baik jalur prestasi, afirmasi, maupun pindah tugas orangtua.
Ditekankan di bagian ini sebab kita, sebagai orangtua, perlu memberi dasar yang benar kepada anak. Kalau anak mengetahui bahwa dirinya diterima di sebuah sekolah sesuai dengan data yang benar, tentu anak merasa sangat bahagia dan yang lebih daripada itu adalah kepercayaan dirinya terjaga.
Dan, selanjutnya, ia tentu akan lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan sekolah baru. Sudah pasti yang demikian ini sangat membantu orangtua dalam mengawalnya selama menjalani proses pembelajaran.
Bahagia, senang, dan percaya diri modal penting bagi anak untuk memasuki pendidikan, yang, diakui atau tidak, menjadi motivasi dari dalam diri.
Dan, motivasi dari dalam diri merupakan motivasi yang menyimpan energi dahsyat. Sebab, umumnya, anak tak bergantung kepada pihak lain dalam menjalani proses pembelajarannya.
Artinya, ia memiliki semangat dalam aktivitas belajar. Tak perlu orangtua, misalnya, menyuruh-nyuruh dulu belajar, anak baru mau belajar.
Tak perlu juga guru menunggu tugas yang diberikan untuk dikumpulkan. Anak secara mandiri bertanggung jawab atas kewajibannya sebagai siswa.
Tentu sangat berbeda dengan anak yang mendaftar di sekolah dengan data yang tak sebenarnya. Mengetahui diterima pun, anak termaksud pasti tak memiliki kepercayaan diri yang kuat. Ia tetap minder dan sangat mungkin malah menjadi anak yang tertutup.
Apalagi jika teman atau tetangga yang mengenalnya mengetahui ia diterima, sementara teman atau tetangganya tak diterima padahal kompetensi yang dimiliki relatif sama. Sudah pasti anak yang dimaksud semakin tak nyaman.
Jika seperti ini yang terjadi, kita, orangtua, tak mendidik anak sejak memasuki bangku sekolah. Sebaliknya, sudah "mengotori" mental anak. Atau, dalam bahasa yang lain, kita mendasari pendidikan anak dengan cara yang tak mendidik.