Kami, saya dan beberapa rekan guru, menyumbang ke salah satu rekan guru yang menikah. Ia asli Demak, Jawa Tengah (Jateng). Kami dari Kudus, Jateng, ke Demak, tepatnya ke desa tempat tinggal rekan kami, dalam satu rombongan elf.
Menjelang memasuki desa ini, kami melewati persawahan. Jalan hanya cukup untuk satu mobil, tak mungkin untuk simpangan dengan mobil lain dari arah berlawanan, mengarahkan elf yang kami tumpangi ke lokasi.
Begitu tiba di lokasi, kami disambut dengan ramah. Oleh, rekan kami yang akan menikah, kedua orangtuanya, dan beberapa orang, mungkin saudara atau tetangga, yang tentu diminta untuk menjadi penerima tamu.
Kami diarahkan ke himpunan kursi yang melingkari meja penuh jajan, dekat dengan lokasi memasak. Karena, himpunan kursi yang melingkari meja yang berada di depan sudah penuh oleh tamu.
Tempat untuk memasak terbuka. Sehingga, tamu, terutama rombongan kami, dapat melihat secara leluasa aktivitas di dapur dari kursi-kursi kami duduk. Saya mengambil beberapa gambar. Sekadar untuk dokumentasi pribadi.
Ibu-ibu di dapur memasak ala tungku dengan memanfaatkan kayu bakar. Beberapa tungku terlihat menyala. Asap yang keluar dari tungku tak membuat sesak pernapasan kami. Sebab, asap dapat langsung tersebar bergerak ke atas, terbang ke angkasa.
Ini bagian kearifan lokal yang tampaknya masih dipertahankan di tengah-tengah kehidupan modern. Rekan kami, yang pengantin ini, seorang sarjana. Pendidikannya ditempa di pusat kota provinsi. Tentu ia tak dapat menutup mata terhadap perkembangan zaman.
Pun demikian pasangannya, seorang wanita yang berpendidikan tinggi. Sama saja dengan rekan kami, ia tentu tak dapat menutup mata terhadap perkembangan zaman.
Bahwa hidup dan kehidupan mereka sudah terbiasa serba cepat. Tak ribet. Tapi, fakta yang ada di sekeliling mereka berdua masih sangat kuat kearifan lokal mendukung perhelatan pernikahan mereka.