Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Saat Melihat Anak Memotong Kuku Ayahnya, Kutemukan Kebahagiaan

11 Juni 2024   21:41 Diperbarui: 11 Juni 2024   22:03 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Si anak sedang memotong kuku sang ayah. (Dokumentasi pribadi)

Sore itu, saya sengaja berkunjung ke rumah teman satu gereja, yang  usianya sudah tua. Ia bilang usianya 72 tahun. Saya mempercayainya. Sebab, ditandai dari kondisi fisiknya saja sudah terlihat bahwa tak terlalu jauh melenceng angka usia yang disebutkannya.

Saya sudah sangat lama tak bertemu. Apalagi beberapa waktu, ia tinggal bersama salah satu anaknya perempuan yang sudah berkeluarga, yang tempatnya agak jauh  dari rumah sendiri.  

Anak perempuan, banyak orang bilang, lebih open (bahasa Jawa: perhatian) ketimbang anak laki-laki. Maka, ia beberapa waktu tinggal bersama anak perempuannya ini.

Tapi, saat saya mengunjunginya, ia sudah berada di rumah sendiri. Biasanya, demikian umumnya kehendak orangtua. Tak mau lama-lama tinggal di rumah orang lain, termasuk di rumah anak. Ingin segera kembali ke rumah sendiri.

Ini menandakan bahwa kasih sayang anak, mungkin juga cucu, ternyata tak mampu mengalahkan kecintaan orangtua terhadap rumah sendiri. Ini kenyataan yang sering saya temukan sekalipun lewat bincang-bincang.

Baik bincang-bincang dengan beberapa orangtua yang pernah saya mintai pendapat tentang hal ini. Maupun, kesaksian beberapa anak yang pernah diikuti oleh orangtuanya.

Teman saya satu gereja yang tinggal di rumah sendiri berarti mengalaminya. Tapi, tak sendirian. Sebab, ada yang membersamainya, yaitu anak laki-laki satu-satunya.

Entah benar entah salah anggapan banyak orang bahwa anak perempuan lebih open daripada anak laki-laki. Sebab, saat saya berkunjung, lelaki lanjut usia (lansia) yang berusia 72 tahun ini memiliki kuku panjang-panjang. Kuku tangan, juga kuku kaki.

Apakah dibiarkan oleh anaknya laki-laki? Atau, jika tinggal bersama anaknya perempuan, kuku-kuku termaksud dipotong alias dirapikan. Secara berkala atau saat ingat saja?

Waktu itu, saya bilang dengan sapaan yang biasa saya gunakan kepadanya, "Mbah (bahasa Jawa: panggilan akrab untuk kakek atau nenek)  kuku tangan dan kaki sudah panjang-panjang. Sudah saatnya dipotong." Ia tersenyum. Dan, saya sulit memaknai senyumnya.

Tapi, pertanyaan-pertanyaan yang cepat muncul di pikiran saya, ditambah dengan fakta yang saya lihat langsung, mendorong saya segera menemui anaknya laki-laki.

Saya bertemu dan membisikkan saran untuk memotong kuku ayahnya. Tanpa waktu lama, ia datang sembari membawa alat pemotong kuku. Dan, langsung duduk lesehan di depan ayahnya yang duduk di kursi.

Dalam memotong kuku, baik kuku tangan maupun kaki, ayahnya tak mungkin bisa. Sebab, ayahnya strok. Tapi, masih dapat berjalan sekalipun harus menggunakan tongkat. Tak jauh-jauh. Cukup di dalam atau di teras rumah.

Kebetulan saat saya berkunjung, ia sedang duduk di kursi di teras rumah. Sendirian. Ini dilakukan tentu  untuk mendapatkan udara segar dan pemandangan luar.

Sebab, sudah pasti ia mengalami titik jenuh di dalam rumah.  Hal yang tentu akan sama dialami oleh banyak orang yang berlama-lama di dalam rumah. Sesak. Jenuh. Bosan. Dan, ingin mendapat kebebasan di luar.

Saya merasa bahagia saat melihat si anak memotong kuku sang ayah sambil lesehan di lantai. Awalnya memotong kuku kaki. Selanjutnya,  kuku tangan. Entah sudah berapa lama umur kuku kaki yang panjang-panjang ini.

Dipotongnya satu per satu kuku yang panjang-panjang itu. Dengan sabar. Sesekali ayahnya meringis. Mungkin ada bagian ujung alat pemotong kuku mengenai kulitnya.

Tapi, pada momen ini justru saya melihat ada cinta, perhatian, dan kasih sayang yang terpancar. Sebab, sekalipun meringis, tapi selanjutnya diikuti tertawa, baik si anak maupun  sang ayah. Dan, saya pun tetiba  turut tertawa juga.

Bahkan, tak hanya tertawa. Melainkan sesekali bersitatap mata antarkeduanya dengan raut wajah yang ringan. Saya melihatnya dan mencoba memaknai bahwa mereka sedang dalam suasana yang bahagia.

Apalagi sang ayah. Ia tampak sangat  bahagia. Sekalipun sesekali meringis, tapi kemudian diketahui bahwa kuku-kuku panjang di ujung jari tangan dan kakinya sudah tak ada. Sudah tertata rapi.

Yang, saya yakini ia akan memotongnya sendiri jika ia dapat memotongnya. Tak mungkin membiarkannya hingga panjang. Tapi, seperti sudah disebutkan di atas, tak mungkin dilakukannya. Sebab, tangan kanannya tak memiliki daya untuk bergerak lebih daripada yang dapat dilakukan.

Untuk menggerakkan jari-jari tangannya saja tak kuat. Sebab, strok yang dialaminya mengenai tangan kanan, dari pangkal hingga ujung jari. Untuk mengangkatnya harus dibantu oleh tangan kiri yang masih kuat.

Jadi, sekalipun ringan, pekerjaan memotong kuku tak mudah   dilakukan. Hanya dapat dilakukan oleh orang lain, dalam hal ini, si anak yang dengan sangat mudah melakukannya.

Cukup dengan duduk lesehan di depan sang ayah, kuku-kuku yang panjang itu akhirnya menjadi rapi teratur. Dan, yang terpenting ada  kebahagiaan yang dapat saya temukan di sana, terutama dalam diri sang ayah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun