Agaknya gambaran seperti ini tak jauh berbeda dengan kondisi riil di beberapa daerah. Termasuk di daerah Kudus, Jawa Tengah (Jateng). Di beberapa lokasi di Kudus yang berjualan jagung bakar selalu diserbu oleh generasi muda.
Sangat jarang ada pembeli yang berusia dewasa. Ini ada benarnya juga sebab yang namanya jagung itu keras. Dan, orangtua kurang tertarik dengan makanan yang keras, yang sangat mungkin dapat menanggalkan gigi.
Saya memandang adanya generasi muda kota menyukai jagung bakar merupakan sebuah perubahan. Sebab, jagung merupakan hasil pertanian yang begitu dekat dengan masyarakat desa, kini, disukai generasi muda kota.
Memang sangat mungkin, mereka yang disebut generasi muda kota yang menyukai jagung bakar itu tak semua terlahir dari masyarakat kota. Boleh jadi mereka adalah generasi muda desa yang menempuh pendidikan atau bekerja di kota.
Tapi, apa pun dikata jagung bakar sudah memikat hati masyarakat kota. Lebih-lebih masyarakat kota generasi muda. Yang, mobilitas hidupnya sudah pasti (sangat) cepat dan keras.
Karenanya, saya menemukan hal yang patut dibanggakan sebagai budaya positif yang melekat ketika mereka membeli jagung bakar. Sebab, membeli jagung bakar ternyata melahirkan spirit keakraban di kalangan generasi muda.
Anda yang pernah menjajal beli jagung bakar di mana pun, kini, mudah menemukan himpunan orang menunggu pesanan atau menikmati jagung bakar. Mereka pada waktu menunggu pesanan atau menikmatinya sudah pasti saling berbincang. Tak mungkin saling diam.
Sekalipun menunggu pesanan dalam waktu yang lama, mereka tak tampak lelah. Sebab, mereka menghanyutkan diri dalam berbagi cerita.
Apalagi ketika mereka sedang menikmati jagung bakar yang sudah dipesan. Duduk lesehan menggigiti jagung bakar sembari berbagi cerita dalam waktu yang lama pun tak bakal terasa.
Itulah spirit keakraban yang terjadi di antara mereka. Spirit keakraban meleburkan perbedaan. Sehingga, tak ada sekat di antara mereka. Kondisi ini memungkinkan mereka dapat saling membantu.