Karena, selama bersama dengan guru, dalam renungan saya, mereka merasa pernah membuat guru sedih, kecewa, bahkan marah.
Meskipun tentu ada siswa yang secara pribadi tak pernah melukai benak guru, ia tetap merasa turut bersalah ketika guru sedih, kecewa, bahkan marah di kelas. Kesadaran seperti ini tentu saja wajar, tak ada yang keliru.
Justru dalam konteks ini, siswa yang bersangkutan memperkuat rasa empati kepada teman-temannya. Yang, sekaligus menyadari bahwa orang pasti memiliki kesalahan. Halalbihalal ke rumah guru menjadi momen yang tepat meminta maaf atas kesalahan yang pernah terjadi.
Ketiga, lebaran dirayakan secara bersama-sama  di rumah guru dalam bentuk halalbihalal menjadi kerinduan siswa pada setiap tahunnya. Maka, jauh-jauh hari sebelum tiba waktu lebaran, siswa sering menanyakan alamat atau tempat tinggal guru.
Sikap ini menunjukkan bahwa mereka benar-benar menghargai momen lebaran sebagai ruang untuk berjumpa bersama, baik dengan teman maupun dengan guru. Yaitu, merayakan kegembiraan bersama setelah sebelumnya merayakan kegembiraan lebaran bersama keluarga di rumah.
Siswa yang berkeyakinan non-muslim juga bergabung di dalamnya. Jadi, halalbihalal ke rumah guru saat lebaran milik bersama. Tak ada pembedaan. Bahkan, seperti sudah disebutkan di atas, mereka juga berkunjung ke rumah guru yang berkeyakinan berbeda, merayakan kegembiraan lebaran bersama.
Merayakan kegembiraan lebaran di rumah guru sangat sederhana. Jarang siswa ada yang mau menikmati kue-kue lebaran yang disediakan oleh guru. Kalau pun ada, paling satu-dua kue.
Yang, justru dilakukan oleh siswa adalah senda gurau antarmereka. Mereka berbagi cerita mengenai perjalanan halalbihalal dari satu guru ke guru yang lain.
Karena, sangat mungkin guru yang didatangi menanyakan sudah melakukan kunjungan ke mana saja. Pada poin ini, siswa umumnya bercerita. Satu dengan yang lain saling melengkapi.
Dan, ini yang lazimnya menghabiskan waktu panjang. Tapi, pada sesi inilah kegembiraan lebaran dirayakan bersama.