Karena, pertama, siswa menghayati tradisi masyarakat tempat mereka tumbuh dan berkembang. Mereka menjaga tradisi saling berkunjung yang sudah berlangsung di masyarakat.
Orang yang dikunjungi adalah mereka yang umumnya dituakan. Dan, prinsip ini mereka memahaminya. Maka, guru-guru, oleh mereka yang dipahami sebagai orangtua patut didatangi saat lebaran.
Mereka merencanakan kunjungan ke rumah guru dengan baik. Dari tempat mereka berkumpul pertama sebagai titik kumpul hingga daftar guru-guru yang harus dikunjungi sudah diagendakan.
Titik kumpul mereka umumnya di sekolah. Lokasi  sekolah lebih memenuhi keinginan mereka.  Karena, selain sudah biasa didatangi, tak banyak pertimbangan. Sehingga, sudah pasti disepakati.  Selanjutnya, dari sekolah mereka melakukan secara bareng menuju ke rumah guru.
Ini artinya, mereka memahami bahwa berkunjung saat lebaran tak hanya dalam lingkup keluarga, kerabat, tetangga, tapi juga orang-orang yang memiliki relasi dengannya, dalam hal ini guru.
Sayang, hal yang sudah disampaikan oleh sekolah bahwa mereka tak boleh mengendarai motor saat halalbihalal ke rumah guru, sering tak dipenuhi. Mereka tetap mengendarai motor. Ada yang sendirian; ada yang berboncengan.
Cara ini berbahaya. Selain mereka belum cukup umur mengendarai motor, yang bukan mustahil kena tilang polisi, tapi juga rentan kecelakaan.
Sebab, senda gurau sepanjang perjalanan sangat mungkin terjadi di antara mereka, yang memang masih remaja. Sehingga, kontrol menjadi kurang.
Apalagi kondisi jalan ramai. Situasi dan kondisi yang seperti  ini yang berbahaya. Baik bagi dirinya  sendiri maupun pengguna jalan yang lain.
Guru akhirnya (hanya) sebatas memberi nasihat saat mereka hendak meninggalkan rumah guru sehabis halalbihalal agar hati-hati di jalan. Selepas itu, guru hanya dapat berharap perjalanan mereka menuju halalbihalal ke guru-guru yang lain penuh keselamatan.
Kedua, siswa memiliki kesadaran bahwa orang perlu meminta maaf karena kesalahan. Mereka merasa perlu meminta maaf kepada guru, yang dianggapnya sebagai orangtua.