Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Dulu Ekstrakurikuler Itu Hanya Pramuka, Kini Sudah Beraneka

8 April 2024   15:19 Diperbarui: 9 April 2024   14:42 743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi 1: Pose saat hendak tampil di Jambore Daerah beberapa waktu yang lalu. (Dokumentasi pribadi)

Saat era saya masih anak-anak, pada 1970-an, seingat saya, ekstrakurikuler (ekskul) di sekolah hanya Pramuka. Sehingga, semua siswa mengikutinya. Tak ada istilah wajib atau tak wajib.

Karena hanya satu-satunya, ekskul Pramuka seolah-olah ekskul wajib. Yang, memang kenyataannya diikuti oleh semua siswa karena tak ada pilihan yang lain.

Apalagi waktu itu anak tak memiliki aktivitas yang menyenangkan saat mereka berada di rumah, selepas usai sekolah. Aktivitas anak bersifat monoton, yang cenderung mengarah ke pekerjaan.

Yaitu, pekerjaan membantu orangtua. Ada yang merumput, mengambil kayu bakar, menggembalakan kambing, domba, sapi, bebek, atau kerbau. Ini realitas yang dapat dijumpai di daerah tempat saya berada. Dan, saya ada di dalamnya.

Bukan mustahil di sekolah lain pun sama seperti yang terjadi di sekolah tempat saya belajar. Yaitu, Pramuka, satu-satunya kegiatan di luar pembelajaran. Bagaimana mungkin siswa tak mengikutinya kalau Pramuka memang satu-satunya.

Dan, seingat saya, siswa sangat antusias. Sampai(-sampai) saking antusiasnya, saya, di antaranya, yang sehabis sekolah menggembalakan kambing, jika bertepatan ada kegiatan pramuka, kambing-kambing tak saya gembalakan.

Tapi, saya merumput atau mengambil daun-daunan terlebih dulu untuk kebutuhan makan kambing saat saya mengikuti kegiatan Pramuka. Cara begini dilakukan oleh anak-anak seusia saya yang memiliki tanggung jawab menggembalakan ternak.

Cara seperti ini, kami, anak-anak, lakukan juga ketika di desa kami atau di desa tetangga ada pertunjukan kesenian rakyat. Misalnya, ketoprak atau wayang. Hewan ternak kami libur dulu di rumah, tak kami gembalakan di padang rumput. Tentu, dengan persediaan kebutuhan makanan yang mencukupi.

Begitu kami membagi waktu. Agar, keduanya, yaitu menonton kesenian rakyat dan hewan piaraan seimbang. Kami dapat menonton;  hewan ternak kami tak kelaparan. Ini sama persis dengan perlakuan kami terhadap kegiatan Pramuka, yaitu Pramuka jalan; hewan ternak kami terpelihara.

Sekalipun di sekolah ada dua tingkat Pramuka, saat masih sekolah dasar (SD), siaga dan penggalang, berlangsung sama baiknya. Anak-anak siaga semangat berkegiatan. Anak-anak penggalang juga semangat berkegiatan.

Ilustrasi 2: Anak Pramuka sedang hiking. (Dokumentasi pribadi)
Ilustrasi 2: Anak Pramuka sedang hiking. (Dokumentasi pribadi)

Apalagi kalau ada kegiatan hiking, ini biasanya untuk Pramuka penggalang, semangat kami istimewa. Mengadakan lintas alam dengan mengenakan seragam Pramuka dan menenteng tongkat, kami sangat merasa gagah.

Perkemahan yang rutin diadakan setiap libur sekolah, juga menarik minat siswa. Sekalipun, dulu, lokasinya jauh dari permukiman masyarakat. Tapi, masih ada sumber air yang didapat, tak memberatkan peserta. Semangat Pramuka membara.

Sehingga, seluruh kebutuhan yang harus dipenuhi, seberat apa pun, anak Pramuka dapat memenuhinya. Tak peduli, misalnya, mengambil air, kayu bakar, dan kebutuhan lain yang lokasinya jauh dari tempat berkemah, tetap ditempuh.

Pembagian tugas sangat jelas. Siapa yang mengambil air, mengambil kayu bakar, memasak, dan menyajikan makanan, dilakukan dengan penuh semangat. Saya mengalami masa-masa yang seperti ini. Pramuka memang tempat untuk menggembleng siswa.

Praktis tak ada siswa yang menganggur. Semua memiliki peran dan tanggung jawab. Tapi, jika ada tugas bersama, semua siswa terlibat. Tak ada, misalnya, siswa yang sekadar duduk-duduk atau bermain-main saja, sementara yang lain bekerja. Semua bergotong royong.

Misalnya, dalam hal menyiapkan lahan untuk pendirian tenda. Mendirikan tenda. Menata lingkungan tenda. Agar, terlihat menyerupai rumah. Karena sangat mungkin ada yang datang bertamu ke tenda, entah peserta lain, entah kakak pembina, atau justru orangtua. Semuanya itu dikerjakan secara bergotong royong.

Intinya adalah kegiatan Pramuka memang diikuti oleh semua siswa. Karena, memang, saat itu belum ada kegiatan yang lain. Pramuka itu satu-satunya kegiatan di luar pembelajaran, yang memang dapat membangun karakter siswa. Saya sendiri merasakannya.

Ilustrasi 3: Ilustrasi 2: Pose bersama kepala sekolah (tengah) di lokasi perkemahan. (Dokumentasi pribadi)
Ilustrasi 3: Ilustrasi 2: Pose bersama kepala sekolah (tengah) di lokasi perkemahan. (Dokumentasi pribadi)

Seiring perkembangan zaman, mulai bermunculan beragam ekskul. Di antara ekskul Pramuka, ada ekskul-ekskul yang lain. Hanya, memang, Pramuka dijadikan ekskul wajib.

Artinya, setiap siswa wajib mengikuti ekskul Pramuka, selain --jika mau-- mengikuti ekskul yang lain.

Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan  Kebudayaan (Permendikbud) Republik  Indonesia Nomor 63 Tahun 2014 tentang Pendidikan Kepramukaan sebagai Kegiatan Ekstrakurikuler  Wajib pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, yang dapat dibaca di dalam dua ayat Pasal 2.

Yaitu, ayat (1) Pendidikan Kepramukaan dilaksanakan sebagai Kegiatan Ekstrakurikuler wajib pada pendidikan dasar dan menengah. (2) Kegiatan Ekstrakurikuler wajib merupakan kegiatan ekstrakurikuler yang harus diikuti oleh seluruh peserta didik.

Mengacu kutipan dua ayat di atas semestinya jika siswa hanya mengikuti ekskul Pramuka, sangat boleh, meski tak mengikuti ekskul yang lain.

Tapi, tak setiap sekolah membolehkan seperti ini, sejak peraturan termaksud digunakan sebagai acuan. Ada sekolah yang mengharuskan siswa sedikitnya mengikuti dua ekskul.

Satu yang wajib; satunya pilihan. Wajibnya sudah pasti Pramuka. Pilihannya sesuai keinginan, tentu bakat dan minat siswa terhadap ekskul yang disediakan oleh sekolah.

Hanya, masih adanya penyebutan yang ini ekskul wajib, yang itu ekskul pilihan, tetap menimbulkan beragam persepsi. Karena, hal ini berarti ada anggapan bahwa ekskul yang ada di sekolah itu ada yang baik dan ada yang kurang baik.

Atau, ada ekskul yang penting dan ada ekskul yang kurang penting. Atau lagi, ada ekskul yang lebih berguna dan ada ekskul yang kurang berguna. Atau, mungkin ada pengklasifikasian lain lagi yang sifatnya mendikotomikan.

Kalau kemudian ada peraturan baru, yakni Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak USIA Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah, yang pada Pasal 24, menyatakan "keikutsertaan peserta didik dalam ekstrakurikuler bersifat sukarela", menurut saya tak menjadi  problem.

Termasuk, misalnya, dilanjutkan di Pasal 34, poin h, yang menyatakan bahwa Permendikbud Nomor 63 Tahun 2014 tentang Pendidikan Kepramukaan sebagai Kegiatan Ekstrakurikuler Wajib pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 959) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, juga tak menjadi persoalan.

Sebab, dalam konteks masa kini, adanya beragam ekskul justru dapat memberi ruang bagi siswa untuk memilih. Memilih ekskul yang sesuai dengan bakat dan minatnya.

Ilustrasi 4: Apel Pramuka saat melaksanakan ekstrakurikuler di sekolah. (Dokumentasi pribadi)
Ilustrasi 4: Apel Pramuka saat melaksanakan ekstrakurikuler di sekolah. (Dokumentasi pribadi)

Siswa yang tak memiliki bakat dan minat dalam kepramukaan tentu tak perlu dipaksakan. Toh memang realitasnya ada siswa yang kurang menyukainya. Tapi, ia menyukai ekskul paduan suara, misalnya, yang boleh jadi ekskul ini yang sesuai dengan bakat dan minatnya.

Sudah tak lagi pada eranya ekskul diklasifikasikan, ada yang wajib dan tak wajib. Termasuk, misalnya, sebuah ekskul wajib ada di sekolah meskipun tak diwajibkan bagi siswa. Ini tak perlu. Semua ekskul sama dan sederajat.

Sebab, semua ekskul memiliki peluang yang sama mengantar siswa ke pertumbuhan kompetensi, baik kognitif, psikomotorik, maupun afektif jika sesuai dengan pilihan siswa, yang relevan dengan bakat dan minatnya.

Karenanya, tak perlu dipolemikkan adanya Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024, yang justru memberi kemerdekaan bagi siswa memilih ekskul. Pramuka tak satu-satunya ekskul yang mampu memenuhi kebutuhan siswa.

Dalam pikiran saya yang subjektif, harus diakui bahwa kegiatan Pramuka di sekolah sebagai kegiatan di luar pembelajaran, yaitu sebagai ekskul, yang usianya memang lebih tua ketimbang ekskul yang lain. Jadi, patut diapresiasi, meski tak harus diunggul-unggulkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun