Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Siswa Pesta Hujan Sepulang Sekolah, Mengingatkan Kenangan Kala Itu

15 Maret 2024   14:10 Diperbarui: 16 Maret 2024   15:29 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi 1: Siswa sepulang sekolah sedang pesta hujan di halaman sekolah yang "mendanau" oleh air hujan. (Dokumentasi pribadi)

Seminggu terakhir ini, hujan mengguyur Kudus, Jawa Tengah (Jateng), seperti di daerah-daerah lain. Di Kudus hampir merata di semua wilayah, termasuk di wilayah sekolah tempat saya mengajar.

Hujan yang terjadi pada Kamis (14/3/2024) dini hari hingga siang, misalnya, seperti tak mau beristirahat. Kadang curahnya deras; kadang tak deras. Tapi, hampir-hampir tak ada jeda.

Sehingga, tak ada kesempatan bagi orang lepas jas hujan atau payung saat bepergian. Orang akan selalu siap sedia pelindung air sebab tetiba terjadi hujan deras meskipun sebelumnya hanya hujan rintik.

Kenyataan demikian yang mengakibatkan air mengumpul di halaman sekolah. Halaman sekolah kami ada dua. Yang pertama, halaman rumput berada di depan gedung sekolah. Yang kedua, halaman beton berada di tengah-tengah gedung sekolah.

Di halaman rumput, air menggenang hanya di beberapa bagian. Volumenya sedikit. Sementara itu, di halaman beton, air menggenang di seluruh bagian. Volumenya banyak.

Di halaman beton yang penuh air ini, siswa lebih sering memanfaatkannya untuk kegiatan. Baik, kegiatan pembelajaran olahraga maupun ekstrakurikuler, juga upacara bendera.

Halaman rumput hanya sesekali digunakan, pada saat Pramuka sedang mengadakan kemah, misalnya. Juga saat ada lomba-lomba yang bersifat outdoor pada momen tertentu.

Sebenarnya air hujan mengumpul di halaman beton sejak pagi. Tapi, ketika kami tiba di sekolah, tak ada satu pun siswa yang menuju ke beberapa ruang kelas melewati halaman termaksud. Padahal, biasanya, saat tak hujan banyak siswa yang melewatinya karena lebih cepat sampai ruang kelas mereka.

Dalam keadaan yang seperti ini memang tak mungkin ada siswa yang memaksakan diri melewatinya. Sebab, sebagian dari pakaiannya dipastikan (akan) basah. Sementara mereka harus mengikuti pembelajaran. Jadi tak mungkin hal yang seperti ini dipilihnya.

Nah, ketika bel tanda pulang dibunyikan, sebagian di antara mereka ada yang melewatinya. Mereka sangat menikmati. Terlihat dari gesturnya tak memiliki beban kalau-kalau pakaiannya menjadi basah. Mereka terlihat enjoy. Padahal, hujan masih mengguyur. Bahkan, di antara mereka ada yang masih menggendong tas.

Itulah jiwa anak. Yang, kadang tak memikirkan akibat dari perbuatannya. Yang penting happy saja. Perihal tas, buku, dan alat tulis yang lain basah, bahkan dapat saja rusak merupakan bagian yang lain.

Penampakan tersebut ternyata mampu menghipnotis siswa yang lain. Yang sebelumnya hanya melihat-lihat, tetiba turut juga memasuki halaman beton yang sudah penuh air ini.

Semakin lama semakin banyak. Baik putra maupun putri, tak ada bedanya, mereka terlihat dapat menikmati suasana tersebut. Meskipun masih lebih banyak yang tetap bertahan tak hujan-hujanan, mereka yang berada di halaman bergenang air hujan, seumpama menikmati pesta hujan.

Tak sekadar berkecipak air hujan yang menggenang, tapi mereka juga berjalan ke sana-ke mari sembari saling membasahi. Untung saja air tersebut tergolong bersih, tak berlumpur. Sehingga, air yang membasahi seragam sekolah mereka, tak terlalu membuat seragamnya berubah warna.

Memang jumlah siswa yang mengungkapkan kegembiraan di halaman sekolah yang "mendanau" tak seberapa jika dibandingkan dengan jumlah siswa yang menyaksikan. Tapi, sekalipun begitu, mereka meramaikan suasana siang itu di sekolah.

Sehingga, akhirnya banyak guru yang tertarik menyaksikan pemandangan yang belum pernah dilihatnya itu. Pemandangan yang tak direncanakan sebelumnya, yang terjadi begitu saja.

Waktu bel pulang (sekolah), yang bersamaan dengan kondisi halaman sekolah penuh air yang (masih) disertai hujan rintik, sebagian siswa memanfaatkan momen ini untuk menikmati air hujan, yang sangat jarang dijumpainya. Sebab, rentang waktu sebelumnya (yang panjang) tak ada hujan.

Adanya hujan, bahkan genangan air yang menyerupai danau di halaman sekolah, menjadi kerinduan tersendiri bagi sebagian siswa. Seperti sudah disebutkan di atas, mereka seolah memasuki sebuah pesta, yaitu pesta hujan.

Disebut pesta hujan karena suasana hati mereka tak jauh berbeda dengan ketika orang sedang mengikuti acara pesta. Entah pesta ulang tahun, pesta pindah rumah, atau pesta pernikahan. Ada perasaan sukacita, senda gurau, dan terbangun relasi yang akrab satu dengan yang lain.

Melihatnya, saya sendiri akhirnya mengenang masa saat saya masih seusia mereka. Saya dan teman-teman sebaya senang hujan-hujanan ketika musim hujan tiba. Kami berpesta air di halaman. Berlari ke sana ke mari, berkejar-kejaran, dan bersenda gurau, menikmati segarnya air hujan. Seakan tak ada duanya.

Beberapa orangtua, termasuk mungkin ada orangtua kami, kadang mengetahui aksi kami. Tapi, mereka membiarkan (saja) kami bersenang-senang menikmati air hujan. Sesekali jika ada halilintar kami semburat lari sembari menutup telinga menuju ke tempat teduh. Begitu halilintar lewat, kami beraksi lagi.

Saya rasa siswa kami yang siang itu sedang menikmati air hujan yang menggenang di halaman sekolah serta rintik hujan setali tiga ulang dengan saya bersama teman sebaya kala itu. Menikmati dunia anak. Dunia yang menyukacitakan dan tanpa beban.

Kami, para guru yang menyaksikan, tak ada yang melarang mereka berhujan-hujan. Malah, termasuk saya, memfoto suasana kegembiraan mereka, sekalipun ada risiko yang mengintai.

Maka, orangtua (masa kini) cenderung kurang menyukai anaknya bermain hujan-hujanan. Hal ini disebabkan oleh rasa khawatir orangtua terhadap anaknya yang dapat saja masuk angin atau malah sakit demam gegara hujan-hujanan.

Dan, adanya petir tentu menjadi pertimbangan yang sangat penting mereka melarang anaknya hujan-hujanan. Sikap demikian boleh disebut bentuk kasih sayang orangtua terhadap anak.

Tapi, bukan berarti, kala itu, orangtua kami tak sayang terhadap kami, sekalipun kami dibiarkan hujan-hujanan. Sama juga bukannya kami tak menyayangi siswa kami ketika mereka pesta hujan di halaman sekolah.

Pesta hujan oleh siswa kami siang itu tak berlangsung lama. Sebab, orangtua sudah menjemput mereka untuk segera pulang. Hujan masih deras, tapi satu per satu sudah mulai berkurang, meninggalkan halaman sekolah kami yang "mendanau".

Ilustrasi 2: Kondisi air hujan memenuhi selokan dan jalan depan sekolah. (Dokumentasi pribadi)
Ilustrasi 2: Kondisi air hujan memenuhi selokan dan jalan depan sekolah. (Dokumentasi pribadi)

Itu pun pasti diikuti oleh air yang mengumpul segera menghilang seiring dengan air selokan depan sekolah yang terus mengalir menuju ke sungai, tempat mengumpulnya banyak air dari berbagai arah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun