Saya rasa siswa kami yang siang itu sedang menikmati air hujan yang menggenang di halaman sekolah serta rintik hujan setali tiga ulang dengan saya bersama teman sebaya kala itu. Menikmati dunia anak. Dunia yang menyukacitakan dan tanpa beban.
Kami, para guru yang menyaksikan, tak ada yang melarang mereka berhujan-hujan. Malah, termasuk saya, memfoto suasana kegembiraan mereka, sekalipun ada risiko yang mengintai.
Maka, orangtua (masa kini) cenderung kurang menyukai anaknya bermain hujan-hujanan. Hal ini disebabkan oleh rasa khawatir orangtua terhadap anaknya yang dapat saja masuk angin atau malah sakit demam gegara hujan-hujanan.
Dan, adanya petir tentu menjadi pertimbangan yang sangat penting mereka melarang anaknya hujan-hujanan. Sikap demikian boleh disebut bentuk kasih sayang orangtua terhadap anak.
Tapi, bukan berarti, kala itu, orangtua kami tak sayang terhadap kami, sekalipun kami dibiarkan hujan-hujanan. Sama juga bukannya kami tak menyayangi siswa kami ketika mereka pesta hujan di halaman sekolah.
Pesta hujan oleh siswa kami siang itu tak berlangsung lama. Sebab, orangtua sudah menjemput mereka untuk segera pulang. Hujan masih deras, tapi satu per satu sudah mulai berkurang, meninggalkan halaman sekolah kami yang "mendanau".
Itu pun pasti diikuti oleh air yang mengumpul segera menghilang seiring dengan air selokan depan sekolah yang terus mengalir menuju ke sungai, tempat mengumpulnya banyak air dari berbagai arah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H