Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Penetapan Kurikulum Merdeka sebagai Kurikulum Nasional, Ikhtiar Menghargai Proses

12 Maret 2024   20:48 Diperbarui: 13 Maret 2024   02:51 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi KOMPAS/Supriyanto

Kurikulum Merdeka baru dirasakan oleh dua tingkat kelas di sekolah tempat saya mengajar. Yaitu, Kelas 7 dan Kelas 8 (khusus Kelas 8 sudah merasakan dua kali). Sementara itu, Kelas 9 masih menggunakan Kurikulum 2013.

Deskripsi di atas menunjukkan bahwa dalam satu sekolah menggunakan dua kurikulum. Fakta ini banyak dijumpai di sekolah lain di daerah tempat saya tinggal. Dan, rerata pada tahun pelajaran 2023/2024 sekolah masih memberlakukan dua kurikulum.

Dalam keberadaan demikian, ada guru yang mungkin harus berpegang pada dua kurikulum. Karena, ia, misalnya, mengajar di Kelas 7 dan Kelas 9. Tapi, ada juga guru yang hanya berpegang pada satu kurikulum karena ia hanya mengajar di Kelas 7 dan/atau Kelas 8, atau hanya di Kelas 9.

Sekalipun begitu, semua guru, selama ini, diarahkan mengakrabi Kurikulum Merdeka. Termasuk guru yang hanya mengajar di Kelas 9. Yang, dalam pembelajarannya berpegang pada Kurikulum 2013.

Ketika guru Kelas 7 dan Kelas 8 mempelajari dan mengimplementasikan Kurikulum Merdeka dalam pembelajaran, mereka --guru Kelas 9-- ikut "merasakan" aroma Kurikulum Merdeka.

Karena, setiap hari efektif sekolah, mereka menyimak dan menyaksikan proses pembelajaran tersebut. Selain itu, mereka terlibat dalam sosialisasi Kurikulum Merdeka, baik luar jaringan (luring) maupun dalam jaringan (daring).

Dalam hal ini hendak dikatakan bahwa semua guru, sedikit atau banyak, sudah mengenal Kurikulum Merdeka. Hanya, memang, belum maksimal. Sehingga, diskusi antarguru di sekolah mengenai kurikulum ini masih terus berlangsung.

Adanya platform merdeka mengajar (PMM) juga sangat membantu guru dalam mengakrabi Kurikulum Merdeka. Memang belum semua guru aktif mengikuti pelatihan mandiri. Tapi, adanya satu-dua guru yang aktif sudah memberikan kontribusi positif.

Sosialisasi dan diskusi yang sudah dilaksanakan serta proses pembelajaran menggunakan Kurikulum Merdeka yang sudah berjalan, tak serta merta membuat guru menguasainya, baik secara konsep maupun praktik. Masih membutuhkan waktu untuk terus menggumulinya.

Tak cukup menggumulinya antarguru di sekolah, dengan siswa, dengan guru sekolah lain, dengan kepala sekolah, tapi yang lebih daripada itu adalah dengan orangtua siswa dan masyarakat. Yang justru pada poin ini, Kurikulum Merdeka membutuhkan dukungannya.

Karenanya, Kurikulum Merdeka memberi ruang yang sedemikian luas kepada sekolah untuk mengajak orangtua dan masyarakat dapat terlibat dalam pembelajaran. Hal ini terlihat, misalnya, dalam pembelajaran proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5).

Ilustrasi: Pembelajaran P5, dengan mengunjungi Masjid Wali, Loram Kulon, Kudus, Jawa Tengah, untuk mempelajari tradisi Ampyang. (Dokumentasi pribadi)
Ilustrasi: Pembelajaran P5, dengan mengunjungi Masjid Wali, Loram Kulon, Kudus, Jawa Tengah, untuk mempelajari tradisi Ampyang. (Dokumentasi pribadi)

Pembelajaran P5, tanpa melibatkan orangtua siswa dan masyarakat tak akan memberikan pengalaman belajar yang mendalam dan bermakna bagi siswa. Kolaborasi ini penting untuk terus dibangun dan karenanya masih membutuhkan waktu yang panjang.

Kolaborasi tak cukup secara fisik. Perlu juga kolaborasi secara psikis. Karena, keterlibatan orangtua siswa dan masyarakat harus menukik sampai ke tahap merancang proyek, menjalankan, dan merayakan hasilnya secara bersama.

Dengan demikian, kolaborasi yang dibangun bersama berlangsung sejak awal hingga akhir. Tak sekadar mengundang dan melibatkan orangtua siswa dan masyarakat pada tahap gelar karya. Yang, umumnya lebih bersifat memamerkan hasil belaka.

Selama ini yang terjadi memang baru sampai pada tahap demikian. Tapi, hal ini tak berarti salah. Proses tak ada yang salah. Proses selalu memunculkan gagasan-gagasan baru. Karena, pada proses biasanya baru ditemukan kebutuhan yang harus ditambahkan karena dipandang sebagai bagian yang lebih mendalam dan bermakna.

Dengan begitu, pembentukan karakter siswa melalui pembelajaran P5, yang termasuk elemen mendasar dalam Kurikulum Merdeka, menurut saya, harus terus dikerjakan secara kolaboratif. Sebab, kini, ditengarai telah terjadi kemerosotan karakter, termasuk karakter siswa.

Akan sulit pencapaian maksimal karakter siswa tanpa kerja kolaboratif antara guru, orangtua, dan masyarakat. Proses kolaborasi harus terus dikerjakan dalam kerangka kerja Kurikulum Merdeka dalam waktu yang (amat) panjang.

Tak cukup hanya 3 sampai 5 tahun. Pembangunan karakter bersifat berkelanjutan, selain adanya pelibatan banyak pihak.

Belum lagi ketika kita memasuki elemen lain, misalnya, perihal prinsip fleksibilitas. Pada poin ini, guru dalam satu sekolah perlu mendiskusikan konteks sekolah. Yaitu, sebagai modal bersama untuk merancang program pembelajaran yang sesuai dengan karakter sekolah, lingkungan, sumber daya manusia (SDM) (meliputi siswa, guru, karyawan, dan orangtua siswa), sarana-prasarana, dan sejenisnya.

Agar, program yang dirancang dapat memberi pengalaman belajar yang mendalam dan bermakna bagi siswa sesuai dengan karakteristiknya. Dengan begitu, semua siswa mendapat layanan pendidikan yang relevan, adil, dan menyenangkan.

Proses ini membutuhkan waktu yang juga panjang. Sehingga, sejak diterapkannya Kurikulum Merdeka di sekolah tempat saya mengajar, yang baru dapat dinikmati oleh siswa Kelas 7 dan Kelas 8, belum dapat memberikan hasil seperti yang diharapkan. Proses masih terus dikerjakan sembari belajar.

Selain dua elemen yang sudah dituliskan di atas, masih banyak elemen lain dalam Kurikulum Merdeka yang harus terus dikerjakan dan dipelajari. Agar, keinginan memberikan yang terbaik untuk siswa sebagai generasi penerus bangsa dapat terwujud.

Kurikulum dirancang tak hanya untuk kepentingan bangsa sejauh lima-sepuluh tahunan. Karena, kurikulum memberikan arah bangsa ini ke depan hendak dibawa ke mana.

Di dalamnya ada visi dan misi yang jelas bagi bangsa bergerak di dan ke masa depan. Sehingga, naif kalau kurikulum hanya diberlakukan untuk periode politik yang memiliki kurun waktu.

Maka, benar yang dinyatakan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Anindito Aditomo, bahwa Kurikulum Nasional bukanlah kurikulum baru. Tapi, Kurikulum Merdeka yang ditetapkan sebagai Kurikulum Nasional mulai 2024 (Metro TV).

Dinyatakan lebih lanjut, ini sudah melalui proses panjang, sejak 2020, dan sekarang Kurikulum Merdeka sudah diterapkan di 300.000 sekolah. Jadi, bagi sebagian besar guru dan siswa, ini bukan barang baru.

Isi pernyataan tersebut dapat dimengerti bahwa proses yang sudah dijalani dalam pengimplementasian Kurikulum Merdeka selama ini tetap dihargai. Karena, penetapan Kurikulum Merdeka sebagai Kurikulum Nasional tak menghapus esensi Kurikulum Merdeka.

Hanya, tentu saja, sejak penetapan tersebut tak ada (lagi) sekolah yang menggunakan Kurikulum 2013. Semua sekolah wajib menggunakan Kurikulum Nasional. Peruntukannya relevan dengan namanya, yaitu Kurikulum Nasional sifatnya menasional.

Jadi, kalau 300.000 sekolah yang menerapkan Kurikulum Merdeka sama dengan 80% sekolah yang ada di Indonesia, maka 20% sekolah (lainnya) sejak 2024 --mungkin dimulai pada momen tahun pelajaran baru, 2024/2025-- wajib menerapkan Kurikulum Merdeka yang sudah ditetapkan sebagai Kurikulum Nasional dalam setiap pembelajarannya.

Dengan begitu, proses panjang yang sudah dilakukan oleh 300.000 sekolah tak sia-sia. Tetap dihargai. Sehingga --seperti sudah disebutkan di atas-- adanya banyak kekurangan dapat terus dicari solusinya untuk mencapai taraf yang baik meskipun dalam "kemeja" kurikulum yang sudah berbeda.

Intinya adalah pengimplementasian kurikulum sampai pada hasil yang diharapkan memerlukan waktu yang panjang. Maka, sangat mungkin pada masa-masa awal pengimplementasian kurikulum belum memberikan pengalaman belajar yang mendalam dan bermakna bagi siswa.

Baru pada masa-masa berikutnya, dengan berbagai temuan (baru) dalam proses pengimplementasian yang diikuti langkah perbaikan, bukan mustahil kemudian memberikan pengalaman belajar yang mendalam dan bermakna bagi siswa.

Sehingga, dapat dimengerti bahwa 80% sekolah yang lebih awal mengimplementasikan kurikulum memperoleh hasil yang baik lebih dulu ketimbang 20% sekolah yang mengimplementasikannya menyusul. Tapi, sekolah yang menyusul dapat belajar dari sekolah-sekolah yang lebih awal mengimplementasikan kurikulum termaksud.

Akhirnya, rencana penetapan Kurikulum Merdeka sebagai Kurikulum Nasional pada 2024, yang dalam logika sederhana saya sebagai ikhtiar menghargai proses yang sudah dan kini masih berlangsung, kiranya dapat menjadi kontribusi terbaik di bidang pendidikan bagi bangsa ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun