Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengelola Tawuran Antarsiswa di Sekolah dalam Perspektif Seni Tari

29 Februari 2024   16:30 Diperbarui: 1 Maret 2024   08:06 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Siswa menampilkan tarian hasil refleksi "tawuran" antarsiswa di halaman SMP 1 Jati, Kudus, Jawa Tengah, 27/2/2024 (Dokumentasi pribadi)

Tulisan ini disusun berdasarkan pengalaman guru mata pelajaran (mapel) Seni Tari yang dibagikan kepada saya. Yang, dikuatkan juga oleh beberapa teman guru, termasuk guru mapel Bahasa Jawa, yang turut menyaksikan sebuah tarian yang dibawakan oleh dua puluh siswa putra dan dua siswa putri.

Tarian ini ditampilkan di tengah lapangan sekolah. Disaksikan oleh seluruh siswa Kelas 8, juga siswa Kelas 9, yang ruang kelasnya menghadap ke lapangan.

Kebetulan pada hari tersebut Kelas 8 jadwal pembelajaran proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5). Yang, salah satu bagian pembelajaran P5 tersebut adalah senam.

Senam ini diikuti oleh tiap kelas. Karena di sekolah tempat saya mengajar, Kelas 8 terdiri atas delapan kelas, maka ada delapan sesi senam.

Nah, di sela-sela aktivitas ini ditampilkan tarian yang terinspirasi dari cerita Ramayana. Cerita yang di dalamnya ada adegan peperangan antara Hanoman dan Rahwana. Adegan ini yang ditarikan oleh dua puluh siswa putra, yang sejatinya mereka tak memiliki keterampilan dasar menari.

Pembagiannya, satu siswa menjadi Hanoman; satu siswa menjadi Rahwana. Dan, sisanya, sebagian menjadi kera, anak buah Hanoman dan sebagian menjadi anak buah Rahwana. Dua siswa putri, satu menjadi Sinta dan satunya menjadi Trijata. Trijata adalah raksasa perempuan sehingga dipastikan sekelompok dengan Rahwana.

Tarian tersebut sebagai konsekuensi dari perbuatan mereka yang dianggap menyimpang. Yaitu, "tawuran". Atau, lebih tepatnya mereka bersenda gurau, yang dipandang mengarah ke aksi tawuran. Dua siswa putri tak terlibat dalam aksi "tawuran". Hanya, mereka ditambahkan untuk melengkapi peran.

Awalnya, perbuatan beberapa siswa putra ini diketahui Wali Kelas atas informasi siswa yang lain. Lalu, mereka diajak berbincang-bincang di ruang Bimbingan dan Konseling (BK). Dari berbincang-bincang ini kemudian ditemukan ada dua puluh siswa putra yang terlibat di dalamnya.

Saat itu, seorang teman guru mapel Seni Budaya, yang secara khusus mengampu mapel Seni Tari, mengetahui karena kebetulan ada kepentingan dengan salah satu teman guru BK di ruang BK.

Pada titik ini gayung bersambut. Sebab, ketika kedua puluh siswa putra ini baru dicarikan tindakan sebagai bentuk konsekuensi atas perbuatannya oleh Wali Kelas dan guru BK, guru Seni Tari yang mengetahuinya memberikan usul agar kedua puluh siswa putra termaksud dijatuhi konsekuensi menari (saja).

Usulan ini direspon positif oleh Wali Kelas dan guru BK. Mereka menyepakati konsekuensi yang harus dilakukan siswa termaksud. Dalam perihal ini, teman kami yang mengampu mapel Seni Tari menyarankan kepada kedua puluh siswa putra tersebut agar mencari tarian yang mengandung unsur peperangan.

Karenanya, tarian yang kemudian dibawakan terinspirasi dari bagian cerita Ramayana. Yaitu, peperangan antara Hanoman dan Rahwana, yang dalam cerita Ramayana adegan ini terjadi ketika Rahwana mencuri Sinta, istri Rama.

Ini relevan karena perbuatan mereka yang dianggap menyimpang, yaitu "tawuran" ditindaklanjuti dengan menampilkan tarian perang. Jadi, "tawuran" yang sangat mungkin didasari sikap emosi (marah), diekspresikan dalam tarian perang yang didasari penghayatan karakter.

Dalam konteks ini, perubahan dari sikap emosi (marah) ke penghayatan karakter tarian merupakan cara kreatif menanamkan nilai-nilai kehidupan dalam diri siswa. Sebab, ternyata, prosesnya memerlukan waktu sekurang-kurangnya satu bulan.

Hitungan satu bulan tersebut dimulai sejak waktu dijumpainya perbuatan menyimpang siswa, yaitu "tawuran" hingga waktu tarian ditampilkan. Dalam sepanjang waktu tersebut ada banyak aktivitas bersama yang dilakukan oleh siswa terkait.

Misalnya, mencari referensi tarian, entah buku, video, atau media yang lain. Setelah menemukannya, mereka mendalami referensi tersebut. Mendiskusikan tentang isi dan gerakan. Selanjutnya, mereka berlatih. Mendiskusikan kostum dan pengadaannya. Terakhir, persiapan tampil.

Semua proses itu dilakukan secara bersama. Sehingga, Di dalamnya memuat literasi, numerasi, gotong royong, musyawarah, menghargai, kepemimpinan, keberanian, kejujuran, dan yang lebih daripada itu adalah rekonsiliasi.

Puncak rekonsiliasi terlihat saat mereka menampilkan karya tari di tengah lapangan dengan karakter masing-masing secara menarik. Yang awalnya "tawuran" menjadi sebuah pertunjukan seni tari perang sebagai karya kreatif.

Yang, tak hanya memikat siswa dan guru dan tenaga kependidikan (GTK) yang melihat. Tapi, juga menjadi sebuah pengalaman belajar yang bermakna bagi para pembawa karakter (penari). Selain itu, tentu juga bagi siswa yang melihat pertunjukan tersebut.

Karena, melalui pertunjukan tersebut, siswa yang sebatas melihat pun pasti saling memperbincangkannya. Tak hanya memperbincangkan pertunjukannya. Tapi, juga memperbincangkan alasan ada pertunjukan tari tersebut.

Dari bincang-bincang ini dipastikan siswa memperoleh banyak pengetahuan. Misalnya, mereka mengetahui bahwa tarian bermula dari adanya "tawuran" yang dilakukan oleh para penari, kecuali dua siswa putri.

Bagi mereka, pengetahuan ini lucu, aneh, unik, tapi sekaligus mengedukasi mereka. Yaitu, mengedukasi tentang nilai-nilai kehidupan yang tersampaikan secara ringan dan menyenangkan lewat tarian.

Pengetahuan ini, saya kira, memberi pengertian baru bagi mereka (baca: siswa) yang bukan mustahil akhirnya mencegah pertengkaran, termasuk tawuran, yang mudah saja terjadi di kalangan remaja --seusia mereka atau bahkan mengikis kebiasaan mereka yang melakukannya.

Guru membantu

Dalam proses yang sekurang-kurangnya membutuhkan waktu satu bulan tersebut masih dalam kontrol guru. Termasuk, misalnya, saat menjelang tampil ada semacam gladi kotor, guru mapel Seni Tari dan guru Bahasa Jawa ikut memberi saran.

Terutama, ini yang diceritakan kepada saya oleh teman guru mapel Seni Tari tersebut, gerakan mereka masih dapat diperbaiki. Akhirnya, ia memberi contoh gerakan tari untuk karakter Hanoman dan kelompoknya. Hasilnya, dapat menyuguhkan pertunjukan yang memikat sekali pun mereka --seperti sudah disebutkan di atas-- tak memiliki keterampilan dasar tari.

Perihal kebutuhan kostum, ternyata juga, masih dalam koneksi dengan guru mapel Seni Tari. Termasuk, misalnya, tempat mereka harus menyewa kostum tari. Guru mapel Seni Tari, teman seperjuangan di sekolah tempat saya mengajar, memberi rekomendasi tentang tempat penyewaan kostum tari.

Perihal ini terlihat sederhana. Tapi, dalam maksud memberi edukasi siswa, upaya yang sederhana ini sangat membangun persepsi positif terhadap siswa. Sehingga, kepercayaan diri mereka akan bertambah. Bagian ini justru, yang pada masa kini, harus terus ditanamkan dalam diri siswa oleh setiap guru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun